Suatu pagi, seperti biasa sebagai seorang diakon, saya mendampingi pastor untuk memimpin Perayaan Ekaristi pagi. Pagi itu ada juga seorang pastor yang menjadi konselebran.
Saya tiba lebih awal di dalam Gereja untuk memeriksa segala persiapan. Di sana telah hadir seorang sakristan yang sedang mempersiapkan buku dan peralatan untuk Perayaan Ekaristi. Kepadanya saya tunjukkan buku-buku mana yang harus dipersiapkan. Kebetulan hari itu misteri Ekaristinya ialah Hari Raya Santa Maria Dikandung Tanpa Dosa. Maka, buku-buku yang perlu dipersiapkan juga tentang Hari Raya Santa Maria Dikandung Tanpa Dosa.
Selain itu, saya juga memastikan para petugas, antara lain petugas pembaca sebanyak dua orang, pembawa lagu dan organis serta pemazmur. Saya tidak mempersiapkan petugas untuk misdinar karena mengikuti protokol kesehatan. Tugas itu diambil alih oleh saya sendiri untuk mengurangi banyaknya petugas.
Ketika saya selesai mempersiapkan segala yang diperlukan, seorang pastor tiba di sakristi. Beliau akan menjadi konselebran (yang menjadi teman pastor selebran) untuk Perayaan Ekaristi pagi itu. Namun ada yang berbeda dengan ekspresi pastor itu.
Saya merasa pastor itu diam dan dingin, tidak seperti biasanya. Beliau bergerak ke sana- ke mari seperti sedang mencari sesuatu. Saya ingin bertanya kepadanya tentang apa yang sedang ia butuhkan, namun saya segan. Barangkali ada hal yang sedang dipikirkan beliau yang membuatnya berekpresi seperti demikian.
Beberapa saat kemudian pastor selebran tiba di kakristi. Saya memberitahukan kepada beliau tentang misteri perayaan hari itu dan apa-apa saja yang diperlukan untuk itu.
Setelah tiba waktu untuk memulai, kami berarak bersama menuju panti imam. Perayaan Ekaristi dimulai sedikit lebih meriah karena hari itu adalah Hari Raya. Semua petugas menjalankan perannya dengan baik dan membantu penghayatan iman untuk Perayaan hari itu. Lalu Perayaan berakhir dan kami kembali berarak menuju sakristi.
Setibanya di sakristi saya memberanikan diri untuk menyapa pastor yang saat perjumpaan awal tadi terasa dingin dan diam. Ternyata, di luar dugaanku, beliau membalas sapaan ku dengan sangat hangat bahkan beliau menepuk pundakku sambil berkata: "Perayaannya berjalan dengan baik. Selamat ya". Sungguh, saya sangat bahagia dengan itu.
Akhirnya saya mengerti kalau ternyata tidak ada yang salah dengan ekspresi pastor itu saat kami bertemu pagi itu. Yang membuat saya merasa berbeda dengan ekspresinya ialah penilaianku sendiri dan itu terjadi sebelum saya menyapa.
Selama sebelum saya menyapa, saya menduga kalau pastor itu sedang ada masalah pribadi. Bahkan saya pun menduga kalau beliau sedang marah dengan saya padahal saya sendiri tidak tahu apa persoalan yang terjadi di antara kami. Untunglah seusai Perayaan Ekaristi, saya memberanikan diri untuk menyapa sehingga segalanya menjadi jelas bagiku kalau ternyata pastor itu tidak marah kepadaku.