Sesungguhnya saya hanyut dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut, mulai dari pertanyaan tentang pembelaan diri saya untuk tidak selalu memberi sapaan hingga pertanyaan yang menggugat. Tetapi saya sadar bahwa saya harus memutuskan sendiri apa yang baik untuk saya. Bukan bermaksud egois karena seolah-olah hanya membela kebaikan diri sendiri, namun sebagai orang yang sedang beranjak dewasa, saya harus mulai mampu mengambil keputusan untuk diri ku sendiri, terlebih tentang yang baik dan yang benar untuk saya lakukan.
Keputusan saya ialah selalulah memberi sapaan. Menyapa itu baik dan perlu untuk menjamin ikatan persaudaraan, terlebih bagi saudara-saudara yang serumah. Oleh karena itu, sudah selayaknyalah kami melakukan perbuatan saling menyapa setiap kali bertemu, meskipun pertemuan itu baru saja terjadi dalam waktu yang berdekatan.
Tidak ada yang salah dengan perbuatan menyapa atau seberapa sering kita melakukan sapaan. Sapaan dalam dirinya sendiri adalah baik dan perbuatan menyapa bisa berarti terbuka untuk berbagi kebaikan.
Menyapa itu menghilangkan rasa kaku, jika kita baru saja bertemu dengan orang baru. Namun bagi orang yang selalu berjumpa dengan kita, perbuatan menyapa bisa berarti bentuk kepedulian satu sama lain. Kita tidak pernah tahu apa yang dirasakan oleh orang-orang yang berada di dekat kita, namun berkat sapaan yang kita berikan, kita seolah-olah bertindak hadir di dalam diri orang itu. Dengan begitu kita menjamin kepadanya bahwa dia adalah saudara bagi kita.
Itulah kekuatan sapaan, yang selama ini ternyata saya sepelekan, terlebih kepada orang-orang yang serumah dengan saya. Saya terjebak dengan istilah serumah atau sering berpapasan. Padahal sapaan bukan tentang itu. Sapaan ialah tentang kepedulian untuk saling berbagi kebaikan agar ikatan persaudaraan tetap terjalin dengan erat.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H