Selama menjalani masa Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di pulau Nias, saya mengikuti kursus bahasa Nias dua kali. Mengapa dua kali? Karena pada kursus yang pertama saya gagal. Sementara kursus yang kedua saya berusaha semaksimal mungkin karena menganggapnya sebagai kesempatan terakhir untuk bisa berbahasa Nias.
Kursus yang pertama saya jalani pada bulan November tahun 2017. Kursusnya dilakukan dengan tinggal di rumah salah seorang umat yang berada di pelosok kampung. Sengaja dipilihkan tempat yang paling pelosok agar cepat mahir berbahasa Nias mengingat di tempat tersebut penggunaan bahasa Indonesia sangat jarang, bahkan tidak pernah sama sekali, kecuali ketika mereka berkomunikasi dengan diriku.
Cara mereka mengajari saya bahasa Nias ialah dengan langsung diajak berbicara. Jika ada kata atau ungkapan yang tidak saya mengerti maka saya akan menanyakannya kepada mereka. Dalam memberi penjelasan tentang arti yang saya tanyakan pun sebisa mungkin mereka tidak menggunakan bahasa Indonesia. Tujuannya supaya saya cepat mahir.
Pernah suatu kali, di malam hari, bapak tempat saya tinggal sedang sakit dan yang menemani saya di ruang tamu ialah keponakan bapak tersebut. Saat itu, saya merasa kesunyian dan ingin berbicara dengan bebas, tetapi tidak bisa karena bahasa Nias ku masih kacau balau. Akhirnya saya mulai pembicaraan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Saat itu saya merasa lepas bebas.
Tiba-tiba, di tengah pembicaraan, bapak yang punya rumah keluar dari kamar dan menegur keponakannya tersebut. Bapak tersebut meminta supaya obrolan kami tidak dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia melainkan bahasa Nias. Dan kami pun segera mengubah bahasa obrolan yang kami gunakan menjadi bahasa Nias dan lidahku kembali kaku rasanya.
Kursus pertama ini saya jalani selama lima hari. Menurutku, kursus tersebut belum berhasil karena bahasa Nias ku masih amburadul. Ketika kembali ke paroki pastor paroki langsung mengajak untuk berbicara dengan menggunakan bahasa Nias untuk menguji saya dan saya segera menangkap ekspresi kekecewaan dari raut wajahnya.Â
Ini kegagalanku bukan kegagalan umat yang membimbingku. Sebelum saya, pernah juga seorang pastor yang kursus bahasa Nias di tempat yang sama dan tidak sampai lima hari pastor tersebut lulus. Jadi bisa saya simpulkan bahwa kegagalan ku itu adalah murni karena saya.
Kursus kedua terjadi pada bulan Februari tahun 2018. Seperti kursus yang pertama, saya tinggal di rumah salah seorang umat namun bukan di tempat umat yang sebelumnya. Sembari kursus, saya juga diminta oleh pastor paroki melatih orang muda di stasi tempat saya tinggal untuk menjadi misdinar. Saya mempersiapkan mereka menjadi misdinar dalam perayaan penerimaan komuni pertama dan pemberkatan gedung gereja mereka.
Selain tugas dari pastor paroki tersebut, saya juga mendapat tugas dari ketua stasi untuk memberikan katekese atau pengajaran iman bagi para calon penerimaan komuni pertama.Â