Mohon tunggu...
Dedy Padang
Dedy Padang Mohon Tunggu... Petani - Orang Biasa

Sedang berjuang menjadikan kegiatan menulis sebagai sarana yang sangat baik untuk menenangkan diri dan tidak tertutup kemungkinan orang lain pula.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memilih Menjadi Teladan

19 Agustus 2020   23:08 Diperbarui: 19 Agustus 2020   23:09 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Menjadi siswa teladan, bukan siswa yang hilang ladannya", demikian pesan yang kuterima dari guruku saat duduk dibangku SMA. Saat itu, setiap kali pesan ini dikumandangkan maka kami sekelas dengan segera menimpalinya dengan berkata "Siswa te!". Hal itu hampir selalu terjadi saat hendak dimulainya proses belajar-mengajar.

Te adalah terminologi bahasa Batak Toba yang digunakan untuk menyebut kotoran atau sesuatu yang tidak berguna. Saya tidak tahu apakah masih ada bahasa selain bahasa Batak Toba yang juga memiliki terminologi ini. Mungkin karena saya bersekolah di tanah Batak dan para pengajarku juga adalah orang Batak saya berani mengartikan kata te dengan terminologi Batak Toba.

Sekalipun kata te secara spontan mengarah pada kotoran atau sesuatu yang tidak berguna, namun kata tersebut juga bisa dipakai untuk mengekspresikan perasaan kesal atau marah kepada seseorang. Selain itu kata tersebut juga bisa jadi bahan candaan bagi teman dekat atau yang akrab dengan diri kita. Jika kata te digunakan untuk canda, sudah pasti kata tersebut bermakna positif. Sebaliknya, jika kata itu lebih merupakan ekspresi kekesalan atau marah, maka kata te bermakna negatif yang tidak pernah disukai oleh orang lain. Maka, dari dua arti atau pun pemaknaan kata te ini, te yang termuat dalam pesan guru kami waktu itu bermakna negatif dan kami diminta untuk menghindari predikat sebagai siswa te tersebut.

Menjadi Teladan atau Te

Dalam refleksi saya, pesan guru ini menggambarkan pilihan bagi setiap orang untuk bersikap dalam hidup, entah menjadi teladan atau menjadi te bagi orang lain. Pesan ini mengajak setiap orang untuk memilih sikap mana yang hendak dimiliki. Konsekuensinya jelas, jika tidak mampu menjadi teladan bagi orang lain maka ia akan menjadi te atau tidak berguna. Sebaliknya jika mampu menjadi teladan, maka hidupnya pun dipenuhi dengan kebahagiaan karena akan dicintai oleh banyak orang.

Lagi, guru kami waktu itu pun sering berkata demikian, untuk melanjutkan pesannya pada kami; "Kalau ingin menjadi siswa teladan rajinlah belajar dan bangun kedisiplinan dalam hidup. Tetapi kalau ingin menjadi siswa te, sudahlah, lebih bagus jangan datang lagi ke sekolah ini. Ini bukan tempatmu. Di sini dikhususkan bagi mereka yang berjuang untuk sukses dan menjadi teladan bagi yang lainnya". Menjadi siswa atau pribadi teladan bagi orang lain adalah suatu usaha terus-menerus dan wajib dimiliki oleh setiap orang. Karena itu dibutuhkan komitmen yang teguh untuk bisa sampai ke sana. Belajar tekun, hidup disiplin dan berbudi luhur (sesuai dengan pesan guru kami) adalah indikasi dari usaha tersebut.

Itulah pesan guruku yang paling sering muncul saat SMA dulu. Pesan itu memang terdengar seperti biasa-biasa saja karena memiliki nuansa main-main, apalagi kami sering menanggapinya dengan sepele sambil dengan volume yang keras berkata "Siswa te"! Saya pun tidak begitu tertarik mendalami apa yang hendak disampaikan guru Waktu itu. Saya hanya menganggapnya sebagai pesan yang wajar untuk kami supaya kami serius belajar. Apalagi karena begitu sering diucapkan oleh setiap guru yang masuk ke kelas, nuansa pesannya jadi seperti biasa-biasa saja dan tidak mengikat.

Tidak Layak, tapi wajib

Seiring berjalannya waktu, sampai saat saya menulis karangan ini, saya mulai mengerti bahwa menjadi siswa teladan itu bukanlah perkara mudah. Dalam pandangan sosial, setiap orang yang lebih tua dari yang lainnya hendaklah membina diri ataupun berlaku sebagai pribadi yang layak untuk diteladani. Alasannya ialah karena orang yang lebih tua itu sudah banyak "makan garam kehidupan". Mereka juga telah lebih kaya dalam pengalaman menjalani hidup, yang jika dianalogikan dengan lari maraton, mereka telah berlangkah-langkah lebih maju ke garis finish kehidupan.

Sementara itu mereka yang muda, pasti masih meraba-raba tentang kehidupan yang hendak mereka jalani. "Jika saya berbuat demikian apa yang akan terjadi?" Atau "manakah yang benar, melakukan yang ini atau yang itu?" Bagi mereka belum ada kepastian tentang hidup yang benar, yang hendak mereka jalani. Mereka masih dalam situasi ketidakpastian. Oleh karena itulah mereka butuh suatu keteladanan hidup. Mereka membutuhkan sosok yang bisa mereka jadikan sebagai teladan dalam menjalani hidup yang belum pasti tersebut. Sebenarnya tidaklah suatu keharusan untuk meneladani yang lebih tua. Tetapi mengingat yang lebih tua itu boleh dipastikan telah lebih banyak mengalami seluk-beluk kehidupan maka sosok yang selayaknya menjadi teladan ialah mereka yang lebih tua dari diri kita.

Berbicara tentang yang lebih tua, saya juga teringat akan diriku yang telah menjadi lebih tua dibanding dengan mereka yang terakhir masuk ke Seminari Tinggi ini. Saya telah tingkat III, maka untuk para frater tingkat I dan II saya menjadi sosok yang lebih tua. Sayalah yang lebih dahulu menerima dan mengalami kehidupan di Seminari Tinggi ini, setidaknya untuk masa kehidupan di tingkat I dan II. Tingkat III ini merupakan rangkuman atas pengalaman hidupku dari tingkat I dan II. Oleh sebab itu, berdasarkan pandangan sosial di atas, sudah pasti saya sedang menduduki jabatan sebagai sosok yang memberi teladan bagi para frater Tingkat I dan II.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun