Kalau dalam adat Batak ada yang disebut dengan jambar (arti harafiah: bagian), maka dalam adat Nias ada yang disebut dengan simbi (arti harafiah: dagu). Posisi, nilai dan bahan keduanya adalah sama.
Posisinya wajib ada dalam adat baik dalam pernikahan maupun juga kematian, nilainya untuk menghormati orang yang menerimanya dan bahannya adalah daging babi. Namun keduanya berbeda dalam hal ukuran.
Kalau jambar berukuran segenggam tangan sementara simbi setalam besar dan potongannya juga besar-besar. Simbi ini terdiri dari kepala, leher dan bagian badan. Bahkan ada juga yang ikut serta kakinya. Jadi jumlahnya sangat banyak dan besar-besar.
Pada suatu kali saya diminta untuk membawakan renungan dalam acara syukuran. Saat acara makan bersama tiba, saya disuguhkan setalam besar yang di atasnya telah ada simbi. Karena baru pertama kali menerimanya, saya langsung kaget dan kagum melihatnya.
Kalau dilihat-lihat potongannya sudah hampir setara dengan seekor babi hanya bagian-perbagian diperkecil. Karena sudah diajari oleh pastor paroki jika ada mendapat simbi maka harus dipotong sebagian dan dibagikan kepada pengurus gereja, dan saya pun melakukannya.
Saya meminta kepada pengurus gereja yang berada di samping saya untuk membaginya. Itu menjadi simbol solidaritas karena ternyata, bukan hanya bagian saya yang dibagi-bagi, melainkan juga punya yang lainnya. Mereka membagi-bagikannya dalam potongan yang sangat kecil.
Saya melihat bahwa ternyata setiap orang yang mendapat simbi juga membagikan kepunyaannya masing-masing. Menurut saya, di sanalah terletak nilai dari sebuah simbi.
Ukurannya yang besar menunjukkan rasa hormat yang tidak tanggung-tanggung kepada orang yang menerimanya dan membagi-bagikannya kepada yang lain itu menunjukkan bahwa rasa hormat itu juga ditujukan kepada orang banyak sehingga semua undangan yang hadir dalam sebuah acara adat mendapat kehormatan dari tuan pesta. Itu menurut hemat saya karena kalau saya tanya kepada orang Nias sendiri umumya mereka menjawab bahwa itu menjadi tanda kehormatan dalam adat.
Simbi menjadi tanda kehormatan dalam adat Nias dan selama menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di sana saya sering mendapatkannya. Itu berarti saya, karena panggilan Tuhan, mendapat kehormatan di dalam mereka. Saya datang atas nama Paroki dan Tuhan yang memanggil, maka yang mereka hormati adalah Paroki dan Tuhan.
Saya hanya mendapat remah-remahnya namun rasanya masih sangat nikmat. Bagiku, di sanalah keindahan panggilan Tuhan, kita membawa Tuhan kepada banyak orang sehingga orang bersuka cita dan kita mendapat perkenanan di dalam mereka yang menerima Tuhan tersebut.