1. Pengantar
Sudah lama orang menghubungkan sakit dengan dosa. Jika kita sakit itu bertanda kita berdosa. Sebaliknya, saat kita berbuat dosa maka kemungkinan besar kita pun akan mengalami sakit suatu waktu.Â
Sakit sering juga disamakan artinya dengan penderitaan. Penderitaan juga sering dipertentangkan dengan eksistensi Tuhan.Â
Pertanyaannya demikian, jika Allah ada mengapa ada penderitaan? Atau jika segala sesuatu dicipta oleh Allah, apakah penderitaan adalah hasil ciptaan Allah?Â
Untuk pertanyaan tersebut banyak orang setuju bahwa penderitaan terjadi bukan karena diciptakan oleh Allah namun karena kedosaan manusia.Â
Dosa manusialah yang menjadi penyebab penderitaan. Nah, dalam hal ini menjadi nyata seolah-olah penderitaan atau sakit itu memiliki hubungannya dengan dosa.Â
Benarkah demikian? Berikut ini dijelaskan bagaimana pandangan Gereja Katolik tentang itu.
Baca juga : Seringkali Kita Hanya Sakit
2. Sakit, Dosa dan Tobat dalam Ajaran Gereja
2.1 Sakit
Katekiskmus Gereja Katolik mengatakan bahwa penyakit merupakan pencobaan yang paling berat dalam kehidupan manusia. Di sana manusia mengalami ketidakmampuan, keterbatasan dan kefanaannya. Penyakit mengingatkan manusia kepada kematian.[1]
Manusia yang mengalami sakit, juga mengalami rasa takut, menutup diri dan terkadang muncul rasa putus asa dan pemberontakan terhadap Allah.Â
Namun di sisi lain, penyakit juga dapat menghantar manusia kepada pribadi yang lebih matang, memprioritaskan yang penting dan menjauhi yang kurang penting dalam kehidupan dan sering kali juga membuat orang mencari Allah dan kembali kepada-Nya.[2]
Dalam Kitab Mazmur dikatakan bahwa sakit itu membawa manusia pada penyerahan kepada Allah. "Ketika hatiku merasa pahit dan buah pinggangku menusuk-nusuk rasanya, aku dungu dan tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat-Mu. Tetapi aku tetap di dekat-Mu; Engkau memegang tangan kananku. (lihat Mzm 73:21-23).Â
Penyerahan diri ini muncul karena keterbatasan pengetahuan manusia tentang sebab adanya penderitaan yang dialami manusia yang didasarkan pada keyakinan bahwa Allah tidak mungkin menghendaki penderitaan.[3]
Bagi orang beriman, sakit sering dipandang sebagai salib. Permenungan ini muncul jika si penderita mencoba melihat apa yang sedang dialami merupakan kesempatan untuk berpartisipasi dalam penderitaan Kristus.Â
Penderitaan dilihat atau diarahkan kepada Kristus yang taat pada kehendak Bapa. Sering manusia tidak melihat makna sakit (penyakit). Tidak jarang, Â bahwa hidup terasa menjadi beban ketika manusia berhadapan dengan penyakit, dan sikap ini akan mengurangi kualitas penderitaan.[4]
Iman yang memandang bahwa sakit adalah sebuah salib kehidupan, sebuah partisipasi dalam penderitaan Kristus, merupakan tujuan penting dalam pelayanan pengurapan orang sakit. Kitab Hukum Kanonik mengatakan bahwa dengan pengurapan orang sakit.
Gereja menyerahkan umat beriman yang sakit (berbahaya) kepada Tuhan yang menderita dan dimuliakan, agar Ia meringankan dan menyelamatkan mereka.[5]
Baca juga : Sakit Itu Tidak Enak, tapi Jadi Pelajaran Berharga
2.2 Dosa
Katekismus Gereja Katolik merumuskan dosa sebagai satu pelanggaran terhadap akal budi, kebenaran dan hati nurani yang baik yang dalam moral Katolik dibahasakan sebagai suatu perbuatan salah yang dilakukan secara tahu, mau dan mampu.[6]Â
Dosa itu melawan akal budi, karena hanya orang yang dapat menggunakan akal budi yang bertanggungjawab terhadap dosanya. Itulah sebabnya bahwa Sakramen Pengampunan dosa hanya dapat diterimakan kepada orang yang telah dibaptis dan mencapai usia/yang dapat berfikir rasional.Â
Dengan akal budi, seharusnya kita memilih tujuan yang paling akhir, yaitu persatuan dengan Tuhan, namun kita sering dikaburkan dengan oleh pengaruh dunia ini, sehingga akal budi kita lebih banyak dipengaruhi dan didominasi oleh kedagingan atau "sense appetite". St. Paulus mengatakan pemberontakan keinginan daging melawan keinginan roh (lih. Gal 5:16-17,24; Ef 2:3).[7]
Dosa itu melawan kebenaran, karena kebenaran hanya ada pada Tuhan. Namun sering kita menganggap kejadian di dunia ini semuanya relatif, tidak putih, tidak hitam.Â
Faham relativitas membuat manusia tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah. Kebenaran adalah tetap dan tidak berubah, dan kebenaran sejati hanya dapat ditemukan dalam diri Yesus, karena Yesus adalah Jalan, Kebenaran, dan Hidup (Yoh 14:6).[8]
Dosa itu melawan hati nurani yang benar. Hati nurani yang benar selalu menyerukan untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat.Â
Dalam mengambil keputusan, ia mengikuti akal budi dan berorientasi pada kebaikan yang benar, yang dikehendaki oleh kebijaksanaan Pencipta.[9]
Hal lain yang dikatakan KGK tentang dosa ialah bahwa dosa itu menyangkut pelanggaran terhadap kasih yang benar kepada Allah dan sesama yang didasarkan pada ketergantungan yang tidak normal kepada barang-barang tertentu.Â
Karena itu dikatakan bahwa dosa itu melukai kodrat manusia dan solidaritas manusiawi. Ia didefinisikan sebagai kata, perbuatan atau keinginan yang bertentangan dengan hukum abadi.[10]
Dalam Kitab Suci dikatakan bahwa dosa menjadi penyebab penderitaan manusia. Dalam kisah penciptaan tidak ada dikatakan bahwa Allah menghendaki penderitaan di dunia. Bahkan Kej 1:1-2:4a mencatat lima kali perkataan: "Allah melihat bahwa semuanya itu baik" (Kej 1:10,12,18,21,25) dan sekali perkataan: "Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik" (Kej 1:31).Â
Dengan ini dikatakan bahwa dalam penciptaan tidak ada tempat bagi yang tidak baik. Namun sejak kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa, saat itu juga manusia mulai mengalami penderitaan.Â
Baca juga : Hikmah di Balik Sakit
Mereka diusir dari taman Firdaus (Kej 3:23) dan mengalami penderitaan akibat dosa yang mereka perbuat.[11]
Dosa itu beraneka ragam, yaitu segala perbuatan daging seperti percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya (lihat Gal 5:19-2; bdk. Rm 1:28-32; 1 Kor 6:9-10; Ef 5:3-5; Kol 3:5-8; 1 Tim 1:9-10; 2 Tim 3:2-5).[12]Â
Selain itu, dosa juga memiliki bobotnya, yaitu ringan dan berat. Penentuan dosa berat dan dosa ringan bukan hanya dilihat dari perbuatan yang dilakukan, tetapi dari pengetahuan dan kebebasan yang berhubungan dengan subyek.[13]
Dosa berat menuntut pengertian penuh dan persetujuan penuh. Pengertian penuh mengandaikan pengetahuan mengenai kedosaan dari suatu perbuatan; mengenai kenyataan bahwa bertentangan dengan hukum Allah.Â
Persetujuan penuh artinya dipertimbangkan secukupnya, supaya menjadi keputusan kehendak secara pribadi. Ketidaktahuan yang disebabkan oleh kesalahan dan ketegaran hati, tidak mengurangi kesukarelaan dosa, tetapi meningkatkannya.[14]
Ketidaktahuan yang bukan karena kesalahan pribadi dapat mengurangkan tanggung jawab untuk satu kesalahan berat, malahan menghapuskannya sama sekali.Â
Tetapi tidak dapat diandaikan bahwa seseorang tidak mengetahui prinsip-prinsip moral yang ditulis di dalam hati nurani setiap manusia.Â
Rangsangan naluri, hawa nafsu serta tekanan yang dilakukan dari luar atau gangguan yang tidak sehat dapat mengurangkan kebebasan dan kesengajaan dari satu pelanggaran.Â
Dosa karena sikap jahat atau karena keputusan yang telah dipertimbangkan untuk melakukan yang jahat, mempunyai bobot yang paling berat.[15]
Selain berat ringannya suatu dosa, terdapat juga dosa maut. Dosa Maut adalah suatu pelanggaran terhadap hukum Allah dalam hal-hal penting dengan pembelotan utuh dan dengan kehendak bebas manusia.Â
Dosa maut merupakan suatu keputusan dalam pertentangan radikal dengan kehendak Tuhan. Dalam hal ini dosa maut bukan sekedar tindak pembelotan penuh, tetapi sungguh pembelotan radikal manusia dari cinta dan rahmat Tuhan.Â
Dosa maut memisahkan atau merusak hubungan manusia dengan sumber hidupnya. Tradisi Gereja melihat dosa maut sebagai tindakan yang dilakukan dengan bebas dan sadar menolak Tuhan, hukum-Nya dan perjanjian cinta-Nya.[16]
Baca juga : Jika Sakit adalah Penggugur Dosa
 2.3 Tobat
Katekismus Gereja Katolik menyebut tobat dalam konteks tobat batin. Tobat batin ialah satu penataan baru seluruh kehidupan, satu langkah balik, pertobatan kepada Allah dengan segenap hati, pelepasan dosa, berpaling dari yang jahat, yang dihubungkan dengan keengganan terhadap perbuatan jahat yang telah dilakukan.Â
Tobat batin itu membawa kerinduan dan keputusan untuk mengubah kehidupan, serta harapan atas belaskasihan ilahi dan bantuan rahmat-Nya. Boleh dikatakan bahwa tobat itu suatu sikap atau perbuatan berbalik dari yang jahat dan kembali kepada Allah.[17]
Terdapat beberapa istilah untuk menyebut kata tobat. Pertama ialah metamelomai. Kata metamelomai memiliki arti suatu perubahan terhadap apa yang dipelihara manusia dalam hatinya.Â
Istilah tersebut merujuk pada pengubahan hati, pikiran, niat, sikap batiniah, dan sikap lahiriah. Kedua ialah shub yang memiliki arti "berbalik".Â
Kata shub tersebut merupakan kata yang paling sering dipakai untuk melukiskan pertobatan seseorang. Kata tersebut mengandung makna berbalik dari kedosaan menuju Allah.Â
Kata yang ketiga ialah metanoia yang memiliki artian suatu perubahan pikiran yang begitu mendalam sehingga perilaku lahiriah pun ikut diubah.[18]
Pertobatan itu mengandaikan iman akan Allah yang maharahim dan penuh kasih. Walaupun dalam diri Adam manusia jatuh ke dalam dosa, tetapi Allah tidak meninggalkan manusia.Â
Ia terus-menerus membantu manusia supaya selamat. Oleh karena itu, Roh Kudus selalu menyertai Gereja supaya semakin bersatu dengan Kristus mempelai-Nya.[19]
Untuk mendapat belas kasih Allah atas semua dosa yang dilakukan, manusia harus mengakui kesalannya ."Jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita.Â
Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan" (1Yoh 1:8-9).[20]Â
Selain pengakuan, manusia juga harus memperlihatkan penyesalan dan silih atau ganti rugi atas dosa yang telah membuat kerugian bagi sesama.Â
Hal ini juga ditegaskan dalam Kitab Hukum Kanonik bahwa peniten yang hendak mendapat remedium yang membawa keselamatan haruslah menunjukkan rasa sesal atas dosa yang telah ia lakukan dan niat untuk memperbaiki diri.[21]
Hanya Tuhan yang dapat mengampuni dosa. Yesus, yang adalah Putera Allah dan berkat otoritas ilahi-Nya, memberi kuasa pengampunan tersebut kepada manusia supaya mereka pun melaksanakannya atas nama-Nya.[22] Oleh karena itu, Kristus menghendaki agar Gereja menjadi tanda dan alat pengampunan.[23]Â
Ia memberi kepada para Rasul kuasa untuk mengampuni dosa dan Ia juga memberi kepada mereka otoritas untuk mendamaikan para pendosa dengan Gereja.Â
Aspek gerejani dari tugas ini terutama kelihatan dalam perkataan Yesus kepada Petrus; "Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Surga; apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di surga, dan apa yang kau lepaskan di dunia ini akan terlepas di surga" (Mat 16:19).[24]
Baca juga : Untuk Jiwa yang sedang Sakit
3. Kaitan Sakit dengan Dosa dalam Ajaran Gereja
Dalam Perjanjian Lama, sakit acap kali, dan memang demikian lazimnya, dikaitkan dengan dosa. Artinya, setiap orang yang menderita penyakit langsung dikaitkan bahwa itu adalah akibat dari dosa.Â
Hal ini didasarkan pada paham pembalasan di bumi dan keadilan Allah. Paham itu mengatakan bahwa orang benar, baik dan saleh akan diganjari dengan hidup sehat, umur panjang, memiliki banyak keturunan dan kaya.Â
Sebaliknya, orang jahat akan dihukum dengan hidup sengsara, tidak memiliki keturunan, usia hidup di dunia singkat dan menderita. Namun hal itu terbantahkan dengan adanya kisah Ayub, orang saleh yang menderita.Â
Yesus sendiri juga menolak anggapan bahwa sakit itu disebabkan oleh dosa (lih. Yoh 9:3). Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa sakit tidak ada kaitannya dengan dosa.[25]
Sakit sesungguhnya berpotensi membawa orang, baik yang sakit maupun keluarga si sakit, kepada dosa. Pada saat sakit, muncul keraguan akan kasih Allah. Akhirnya muncul rasa putus asa, takut dan bahkan berontak kepada Allah.Â
Muncul juga iri hati terhadap orang lain yang hidupnya mujur dan jarang sakit. Dalam situasi demikian sakit mampu membawa manusia kepada dosa akibat kelemahan rohani.[26]
Catatan-catatan
[1] Katekismus Gereja Katolik, diterjemahkan berdasarkan edisi bahasa Jerman oleh Herman Embuiru (Ende: Arnoldus, 1998), no. 1500. Pengutipan selanjutnya akan disingkat KGK dan diikuti nomor yang dirujuk.
[2] KGK no. 1501
[3] Surip Stanislaus, Penderitaan Menurut Kitab Suci (Pematangsiantar: [tanpa penerbit], 2018), hlm. 6-7 [diktat].
[4] Surip Stanislaus, Penderitaan ..., hlm. 10; bdk. Lesta Joseph Sembiring, Situasi Sakit dan Dosa Menurut Moral Katolik (Pematangsiantar: [tanpa penerbit], [tanpat tahun terbit]), hlm. 4 [diktat].
[5] Kitab Hukum Kanonik 1983 (Codex Iuris Canonici 1983), Edisi Resmi Bahasa Indonesia, diterjemahkan oleh Sekretariat KWI (Jakarta: KWI, 2016), nomor 998. Pengutipan selanjutnya akan disingkat KHK dengan diikuti nomor yang dirujuk.
[6] Lesta Joseph Sembiring, Situasi ..., hlm. 6.
[7] Lesta Joseph Sembiring, Situasi ..., hlm. 5-6.
[8] Lesta Joseph Sembiring, Situasi ..., hlm. 6.
[9] Lesta Joseph Sembiring, Situasi ..., hlm. 7.
[10] KGK no. 1849.
[11] Surip Stanislaus, Penderitaan Menurut Kitab Suci (Pematangsiantar: [tanpa penerbit], 2018), hlm. 2 [diktat].
[12] KGK no. 1852.
[13] Lesta Joseph Sembiring, Situasi ..., hlm. 10-11.
[14] KGK no. 1859; bdk. Lesta Joseph Sembiring, Situasi ..., hlm. 12.
[15] KGK no. 1860; bdk. Lesta Joseph Sembiring, Situasi ..., hlm. 12.
[16] Lesta Joseph Sembiring, Situasi ..., hlm. 11.
[17] KGK 1431 dan 1490.
[18] Laurensius Dihe S., Sakramen Tobat di Tengah Globalisasi (Yogyakarta: Kanisius, 2013), hlm. 25-26.
[19] Konsili Vatikan II, "Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium), dalam Dokumen Konsili II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumen dan Penerangan KWI-Obor, 1993), nomor 2-4; bdk. Laurensius Dihe S., Sakramen ..., hlm. 32.
[20] KGK no. 1847.
[21] KGK no. 1451 dan 1459; bdk. KHK no. 987.
[22] KGK no. 1441.
[23] KGK no. 1442.
[24] KGK no. 1443; bdk. Laurensius Dihe S., Sakramen ..., hlm. 27-28.
[25] F.X. Didik Bagiyowinadi, Sakramen Penyembuhan. Sayang Sekale Kalo Dicuekin (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2007), hlm. 60; bdk. Surip Stanislaus, Sastra Kebijaksanaan Israel. Pengantar dan Tafsir Pilihan (Pematangsiantar: [tanpa penerbit], 2017), hlm. 4; bdk. Surip Stanislaus, Penderitaan ..., hlm. 2.
[26] Laurensius Dihe S., Sakramen ..., hlm. 61.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Didik Bagiyowinadi, F.X. Sakramen Penyembuhan. Sayang Sekale Kalo Dicuekin. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2007.
Dihe S., Laurensius. Sakramen Tobat di Tengah Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius, 2013.
Joseph Sembiring, Lesta. Situasi Sakit dan Dosa Menurut Moral Katolik. Pematangsiantar: [tanpa penerbit], [tanpat tahun terbit]. [Diktat].
Katekismus Gereja Katolik. Diterjemahkan berdasarkan edisi bahasa Jerman oleh Herman Embuiru. Ende: Arnoldus, 1998.
Kitab Hukum Kanonik 1983 (Codex Iuris Canonici 1983), Edisi Resmi Bahasa Indonesia. Diterjemahkan oleh Sekretariat KWI. Jakarta: KWI, 2016.
Konsili Vatikan II, "Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium). Dalam Dokumen Konsili II. Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumen dan Penerangan KWI-Obor, 1993.
Stanislaus, Surip. Penderitaan Menurut Kitab Suci. Pematangsiantar: [tanpa penerbit], 2018. [Diktat].
------------, Sastra Kebijaksanaan Israel. Pengantar dan Tafsir Pilihan. Pematangsiantar: [tanpa penerbit], 2017. [Diktat].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H