Indonesia, ketika mendengar kata itu tentu saja kita akan langsung teringat dengan tanah air tempat kita berdiri saat ini. Tempat dimana kita menggantungkan hidup untuk dapat terus hidup dan bernafas walau dengan kaki satu ataupun tanpa kaki sekalipun.
Indonesia, negara yang notabene adalah negara maritim dan katanya kaya akan sumber daya alam dan manusia ternyata hanya sebuah negara dimana Warga Negara Indonesia (WNI) seolah-olah menjadi Warga Negara Asing di negerinya sendiri. Kenapa tidak, kita yang berstatus WNI di Negara kita sendiri menjadi "budak" bahkan menjadi "pelayan" bagi sebagian orang-orang yang berstatus WNA dengan kerajaan bisnis yang mereka bangun di negeri Indonesia ini. Kemana 200 juta lebih penduduk Indonesia?? apakah kita hanya ditakdirkan menjadi penonton bahkan pembantu untuk melihat orang-orang lain dari luar Indonesia berkembang dan berjaya di negeri sendiri?
Itulah Indonesia riwayatmu kini, setelah 69 tahun merdeka dari penjajahan kompeni, kini anak-anak bangsa dihantui oleh bayang-bayang kompeni versi baru yaitu kebobrokan sistem tata dan kelola negara. Tidak heran saya menyebut negara Indonesia adalah negara yang "autopilot". Siapapun yang berkuasa di negeri ini pasti hanya akan sebagai tokoh wayang yang seolah-olah menjadi pemimpin namun kenyataannya justru menjadi pemain figuran untuk teman-teman kita dari luar Indonesia. Sistem kelola pemerintahan bersifat dinamis yang mengikuti mood dan trend dari sebagian kecil pemimpin di negara ini. kalau mood lagi ke kiri, rakyat dibuat ke kiri begitupun sebaliknya sehingga kadang oknum pemimpin menjadi tak ubahnya sebuah panggung lawak bagi kami rakyat Indonesia yang dibawah. hahahaha
Mungkin dengan tata kelola negara pemerintahan saat ini baik dari daerah ke pusat sudah berakar kebiasaan untuk selalu mendahulukan kepentingan golongan, pribadi bahkan grup masing-masing. Wajar saja kalau kami rakyat Indonesia yang kurang mengerti politik menjadi "kucing hitam" atau tumbal dari permainan elit-elit diatas sana yang tak terjangkau oleh kami.
Entahlah, anggapan saya benar atau salah tapi itulah yang saya alami selama hidup dan besar di negara ini. yang punya duit dan koneksi pasti akan slalu didepan. Berbeda dengan kami yang hanya memiliki sedikit materi tapi mungkin bisa dibilang berlimpah akan ilmu tapi memiliki setitik kecil kesempatan untuk membangun bangsa dan negara. Mungkin saya lebih berbangga jika berada diluar negeri karena atmosfer disana sangat membanggakan orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan dibanding orang-orang yang terlanjur kaya tapi tetap dalam kompetisi adil untuk meraih sebuah kesuksesan.
Coba kita renungkan, anak-anak bangsa saat ini sedang "bertapa" di negeri orang untuk meraih gelar pendidikan sampai S3 dan setelah lulus selesai kembali ke Indonesia hanya menjadi pengangguran yang bingung mau kemana. Bahkan mungkin kalau saya boleh bilang seandainya gelar pendidikan ada sampai S10, tidak ada gunanya jika tidak punya duit dan koneksi yang baik. Seharusnya pemerintah menyediakan tempat bagi orang-orang seperti itu, bukan menyediakan tempat luas bagi para "pembeli" ijazah. Kami belajar dan menempa ilmu dengan kerja keras dan uji fisik mental untuk mendapatkan sebuah tambahan selembar kertas dan tambahan gelar nama bukan dengan lembaran-lembaran uang yang dengan singkat menyulap itu semua menjadi sebuah yang gampang didapat dan secara instan hal itu dapat dilakukan.
Merdeka,,Merdeka,,Merdeka,, Hiduplah Indonesia Raya,,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H