Mohon tunggu...
Dedy Ari Asfar
Dedy Ari Asfar Mohon Tunggu... -

Menulis adalah tradisi Tuhan yang harus disenangi manusia

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Telur dan Telor Pengamat Bahasa

22 September 2013   19:28 Diperbarui: 4 April 2017   18:19 3156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Dedy Ari Asfar

Saya pernah membaca artikel bahasa di harian Kompas. Kebetulan saya diperlihatkan seorang teman sebuah tulisan menarik yang terbit di harian Kompas Jumat, 8 Agustus 2008 berjudul ”Praktik di Samping Apotek”. Saya pun pernah menulis untuk merespon tulisan tersebut pada tahun 2008. Saya berusaha untuk meluruskan kerangka ilmiah berpikir penulis tersebut. Harap-harap tulisan saya dapat diterbitkan dalam kolom bahasa untuk memberikan sedikit pencerahan? atau saya yang semestinya dicerahkan oleh penulis terkenal dan harum sebagai penulis kolom bahasa di Kompas? Namun, saya bukan penulis terkenal dan hebat sehingga tulisan saya tidak pernah terbit di kolom bahasa Kompas. Sebagai penulis pemula di Kompasiana saya masih teringat dengan tulisan tersebut dan coba mengulas pendapat sang penulis tetap di kolom bahasa Kompas versi cetak ini. Silakan lihat sumber tulisan yang saya ulas dalam tautan http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/08/01591147/praktik.di.samping.apotek atau http://copiikhan.wordpress.com/2010/06/23/praktik-di-samping-apotek/#more-1058.

Saya mohon maaf kepada penulis karena perbedaan pendapat ini. Jika saya salah mari kita diskusikan dengan ilmu bukan dengan hawa nafsu dan semata-mata logika tanpa tunduk pada dasar keilmuan. Teman-teman penulis Kompasiana dapat menilai dan membandingkan tulisan daif saya ini dengan sang penulis artikel Praktik di Samping Apotek” sebagai bahan diskusi. Bisa jadi saya yang salah dan keliru cara berpikirnya. Mohon dibalas tulisan dengan tulisan jika berbeda pendapat.

Pengamat bahasa yang sudah sangat terkenal ini membahas fenomena ablaut dalam bahasa Indonesia. Dengan gaya yang lugas dan jelas tulisan ini berusaha mencairkan kekakuan bentuk baku bahasa Indonesia. Secara sosiolinguistik pendapat penulis dapat dibenarkan. Namun, ada kekeliruan paradigma yang harus diluruskan dalam melihat proses ablaut dalam tata bahasa Indonesia karena contoh yang dipaparkan, seperti apotek atau apotik, kokoh atau kukuh, praktek atau praktik, telor atau telur bukan gejala ablaut melainkan variasi fonologis. Mengapa? karena apabila telur dan telor dibuat dalam sebuah kalimat sesungguhnya tidak memiliki perbedaan peran dan fungsi sintaksis. Kata-kata tersebut tidak dapat menandai pelbagai fungsi gramatikal dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, dalam berbahasa yang sedikit preskriptif ala Badan Bahasa Jakarta, pemakaian kata berbeda bunyi tersebut tidak boleh semaunya.

Berbicara perubahan antara apotek dan apotik, kokoh dan kukuh, praktek dan praktik, telor dan telur dalam bahasa Indonesia kita berhadapan dengan perubahan yang bersifat fonologis bukan morfologis, seperti yang terjadi dalam bahasa Inggris. Perubahan drink, drank, dan drunk merupakan perubahan yang bersifat morfologis. Perubahan seperti ini yang disebut ablaut karena perubahan memperlihatkan berbagai fungsi gramatikal kata tersebut. Oleh karena itu, Collins (2007) mengungkapkan bahwa ablaut merupakan perubahan atau peralihan vokal (grading of vowels) dalam kata yang sama untuk menunjukkan perubahan yang membawa peralihan ciri makna, misal dari bentuk tunggal menjadi bentuk jamak man ® men ’orang’ (lelaki) atau memengaruhi maksud dan tujuan suatu kalimat untuk menunjukkan perubahan waktu sekarang menjadi lampau drink ® drank dalam bahasa Inggris.

Dalam bahasa Indonesia, bentuk lampau, sekarang, dan yang akan datang dapat ditandai dengan menambahkan kata tertentu. Pada saat menyatakan bentuk lampau dapat diiringi dengan kata sudah atau telah di depan kata kerja yang ditandakan sebagai tindakan lampau, misal sudah minum, telah minum. Bentuk sekarang, bisa diikuti kata sedang sehingga menjadi sedang minum, dan bentuk yang akan datang dapat diikuti kata akan sehingga menjadi akan minum. Oleh karena itu, dalam bahasa Indonesia, tindakan lampau dinyatakan dengan proses sintaksis.

Dalam bahasa Inggris bentuk lampau ditandai dengan proses morfologi. Proses itu diantaranya melibatkan imbuhan yang dicantumkan pada akhir kata kerja, misal talk menjadi talked. Imbuhan –ed menunjukkan bahwa berbicara terjadi pada masa lampau. Ada sejumlah kata kerja yang menunjukkan waktu dengan perubahan vokal kata kerja. Contohnya, drink, drank, drunk; sing, sang, sung. Perubahan vokal (i, a, u) dalam bahasa Inggris dapat menunjukkan perubahan aspek, kala, jumlah, dan sebagainya. Perubahan vokal ini menandakan perubahan sintaksis yang teratur. Oleh karena itu, perubahan bentuk (morf) membawa perubahan peran dan fungsi yang berbeda dalam sintaksis maka perubahan vokal yang demikian ditafsirkan sebagai perubahan morfologi.

Berdasarkan fenomena tersebut apabila kita membuat kalimat ”Saya makan telur” dan ”Saya makan telor”, memperlihatkan tidak ada perbedaan fungsi dan peran sintaksis dari kedua kalimat tersebut. Telur dan telor tidak menunjukkan perubahan yang membawa peralihan ciri makna. Jelas sekali telur dan telor tidak bisa disebut ablaut. Akan tetapi, kalau saya membuat kalimat ”I drink a cup of tea” dan “I drank a cup of tea”, terdapat perbedaan peran dan fungsi sintaksis dalam kedua kalimat tersebut. Kalimat pertama berarti ”Saya minum secangkir teh” untuk menyatakan bentuk kini (sekarang) sedangkan kalimat kedua berarti ”Saya minum secangkir teh tadi” merupakan pernyataan bentuk lampau. Apalagi kalau saya membuat kalimat ”I have drunk cup of tea” atau ”I drunk” tentu memiliki makna yang berbeda. Bahkan, apabila bentuk tenses lain dalam bahasa Inggris diterapkan—akan memperlihatkan kekompleksan atau kepelbagaian gramatikal. Hal ini berbeda dengan bentuk telor atau telur dalam bahasa Indonesia yang memang tidak menandai kepelbagaian fungsi gramatikal. Dengan demikian, dalam bahasa Indonesia yang benar, tentu saja kata telur bukan telor, praktik bukan praktek, kukuh bukan kokoh, dan apotek bukan apotik. Bukankah setiap bahasa memiliki gramatika (tata bahasa) tersendiri? Haruskah fenomena variasi fonologis itu mau dipaksakan disebut sebagai ablaut? Hati-hati jangan sembarangan ”mencabik baju di dada” agaknya pepatah yang pantas untuk penulis artikel ”Praktik di Samping Apotek”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun