Mohon tunggu...
Dedi Damarjati
Dedi Damarjati Mohon Tunggu... wiraswasta -

Seorang buruh yang tinggal di ujung timur Indonesia. Bekerja di http://www.damarjaticomputer.com sebagai tukang service harian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hilangnya Nurani di Tengah Ketidakadilan

14 Januari 2012   17:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:53 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mau dibawa kemana negeri ini!? Pertanyaan klise tentang sebuah bangsa yang kehilangan jati dirinya, setelah masa demi masa kepemimpinan dilalui dengan berbagai dialektika kehidupan sosial yang berbeda satu sama lain.
Era Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi yang katanya membuka kran demokratisasi menjadi lebih baik. Namun, kenyataan yang kita lihat sekarang seakan menafikan semua cita-cita luhur yang didengungkan mana kala mahasiswa dan berbagai elemen menggulingkan kepemimpinan Orde Baru demi sebuah perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa.

Kita tidak akan pernah lupa peristiwa Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Peristiwa Gejayan berdarah di Jogja dan peristiwa – peristiwa lain yang menorehkan tinta hitam di akhir pemerintahan Orde Baru.

Namun, setelah sekian tahun berlalu, apakah kehidupan berbangsa kita semakin membaik? Euforia demokratisasi tergerus oleh kemunafikan atas dasar demokrasi dan kebebasan berpendapat. Berbagai Ormas mengatasnamakan rakyat atau agama tertentu untuk membelenggu kebhinekaan yang sejak berdirinya bangsa ini dilekatkan dalam kehidupan berbangsa agar menjadi jiwa setiap anak bangsa dengan mengkebiri kebebasan beragama dan beribadah agama lain.

Demikianpun dengan mereka yang mengatasnamakan rakyat dan pelayan masyarakat (birokrat) dari tingkat pusat hingga daerah yang dengan seenak hati mengoyak tatanan sosial dan kultur masyarakat dengan tingkah polah seperti preman jalanan yang tidak mengenal etika. Korupsi tanpa rasa malu, arogan dengan kekuasaan yang dimiliki dan kemaksiatan (poligami/pernikahan siri) yang diselimuti dengan lipstik hak asasi serta pembenaran oleh agama. Bahkan empati pun seakan menjadi barang langka bagi kalangan wakil rakyat yang dengan arogan menggunakan uang rakyat untuk memupuk kenyamanan dengan menafikan kehidupan sosial masyarakat yang masih terbelenggu oleh kemiskinan dan kebodohan.

Entah sampai kapan hal ini terjadi... kritik hanya menjadi “korek telinga” dan jeritan kaum jelata “bak lolong anjing yang sebentar saja menghilang”.

Bisu, tuli dan dungu sudah sewajarnya disematkan pada mereka yang dengan pongah mengatasnamakan rakyat tapi menutup telinga dan nurani melihat ketidakadilan dan kemarahan rakyat yang mendambakan keadilan.
Semoga masih ada kesejukan hati diantara kepingan angkara dan hawa nafsu manusia serakah....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun