Pemerintah pada tahun ajaran 2025/2026 akan membangun sekolah unggulan di bebeberapa daerah di Indonesia untuk menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) terbaik. SMA ini akan di upgrade supaya masuk level internasional. Konsep sekolah unggulan yang nantinya akan setara dengan program pre-university untuk bisa masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia. Sekolah ini nantinya berasrama dan kurikulumnya di atas kurikulum rata-rata SMA yang kemendikdasme. Lulusan sekolah unggulan juga diharapkan bisa masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia dan pulang kembali ke Indonesia untuk memajukan kampus. Sekolah ini Bernama SMA Garuda Nusantara. Sekolah ini dikelola oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sain, dan Ristek. Adapun sekolah yang kemungkinan diperbaharui jadi sekolah unggulan yakni SMA Taruna Nusantara, SMA Pradita Dirgantara, hingga SMAN Bali Mandara. Nantinya, tambah Prof. Satryo siswa yang sekolah di sekolah unggulan akan digratiskan atau dibiayai negara. "Negara yang bayar (gratis),"
Anggaran PT dibawah Standar Dunia.
Pertanyaan yang tidak habis pikir, kenapa Kemendikti membangun SMA Unggulan?. Lalu kemana Kemendikdasmen?. Apa tidak salah Kementerian Pendidikan tinggi harus ngurusin sekolah?. Sementara Kemendikti banyak Pekerjaan Rumah yang sampai sekarang tidak pernah selesai. Apa Menteri Pendidikan tinggi tidak tahu tupoksinya?.
Staf Khusus (Stafsus) Presiden Bidang Inovasi, Pendidikan, dan Daerah Terluar Billy Mambrasar mengatakan anggaran pendidikan tinggi di Indonesia masih di bawah standar dunia. Menurut Billy, anggaran pendidikan tinggi di Indonesia hanya sebesar 0,9 sampai 1,6 persen dari total (APBN), sementara lembaga di bawah (PBB) yakni Unesco menetapkan anggaran pendidikan tinggi minimal 2 persen. Unesco badan resmi PBB merekomendasikan apabila sebuah negara ingin mendorong inovasi berbasis sumber daya manusia maka sejatinya setidaknya 2 persen dari APBN itu dialokasikan untuk pendidikan tinggi.
Billy menjelaskan, selama ini pemerintah memberikan anggaran pendidikan sebesar 20% (APBN) atau sekitar Rp 665 triliun. Dari angka tersebut, tidak semua anggaran ditujukan pada Kemendikbud Ristek, tapi sebesar 52 persen transfer daerah dan dana desa, 12 persen pengeluaran pembiayaan dan lain-lain. 7 % anggaran pada belanja non kementerian/Lembaga atau 47,3 trilyun. Tersisa 15 persen untuk Kemendikbud Ristek atau jumlahnya sekitar Rp 98, 7 T, dari alokasi itu hanya 0,9 sampai 1,6 persen ditujukkan untuk pendidikan tinggi.
Dana alokasi anggaran itu tidak cukup untuk membiayai kebutuhan pendidikan tinggi yang berperan untuk memajukan bangsa. Negara maju pun, sudah memberikan anggaran yang besar untuk pendidikan tinggi. " Amerika serikat 10% dan Singapura lebih lagi. Jadi ini pokok permasalahannya (Kekurangan anggaran)," malah mau mendirikan SMA Unggulan Garuda Nusantara. Seharusnya pemerintah menaikan anggaran untuk pendidikan tinggi, selain untuk memajukan bangsa, akan berguna juga untuk membantu mahasiswa yang kurang mampu tetap mendapatkan akses pendidikan.
Tambahan anggaran akan bisa digunakan untuk memberikan menggratiskan biaya pendidikan atau memberi beasiswa pada mahasiswa yang tidak mampu.
Ada ketimpangan pembiayaan pendidikan tinggi pada Kemendikbudirstek dan kementerian/lembaga (K/L) lain. Studi menunjukkan alokasi anggaran perguruan tinggi di Kemendibduristek Rp 7 triliun, anggaran itu dibagikan ke 100 PTN dibawah kemendikdub.
Perbandingan PTN dan Sekolah Kedinasan
Sementara perguruan tinggi kedinasan di K/L lain Rp 47, 3 triliun.
Oleh sebab itu ada pembiayaan yang timpang salah satunya berdampak pada gejolak soal Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Ia mencontohkan, tarif pendidikan tertinggi pada prodi S1 di PTN di bawah Kemendikbudristek seperti Universitas Gadjah Mada pada tahun akademik 2019 sebesar Rp 52 juta per tahun. Adapun di Institut Teknologi Bandung sebesar Rp 40 juta per tahun.
Sementara itu berdasarkan data KPK 2018, biaya kuliah suatu PTKL Perhubungan dengan 964 mahasiswa aktif mengeluarkan DIPA Rp 356 miliar. Dengan begitu, biaya kuliah per mahasiswa yakni sekitar Rp 369 juta.. dukungan anggaran pendidikan tinggi yang tidak memadai akan berdampak pada capaian pembelajaran (learning outcomes). Ia mencontohkan tarif pendidikan tertinggi kampus Asia Tenggara pada 2019 bagi mahasiswa internasional di Nanyang Technological University (NTU) sebesar Rp 759,3 juta per tahun. Adapun di Universiti Malaya sebesar Rp 448,8 juta per tahun. Sedangkan di Institut Teknologi Bandung sebesar Rp 40 juta per tahun. (Cag).