Mohon tunggu...
Dedi Soetanto
Dedi Soetanto Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Menakar Kewajaran Remunerasi Ditjen Pajak

15 April 2015   22:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:03 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenaikan tunjangan Ditjen Pajak (DJP) sebagaimana diatur pada Perpres 37/2015 didasarkan pada upaya meningkatkan kinerja aparat pajak dalam rangka memenuhi target pajak yang selalu meningkat setiap tahun. Tahun 2015 kenaikan target pajak yang harus dicapai setidaknya sebesar 31 persen dibanding target capaian tahun sebelumnya. Kenaikan juga dimaksudkan untuk menaikkan daya tawar DJP terhadap karyawannya yang konon begitu diminati oleh sektor swasta. Selain itu, Menteri Keuangan, yang juga Guru Besar Universitas Indonesia, Prof DR Bambang Brodjonegoro, menyatakan bahwa pemberian ‘vitamin’ ini juga dalam rangka menekan probabilitas penyalahgunaan wewenang yang selalu terjadi karena begitu besarnya godaan yang dihadapi aparat pajak dan begitu tingginya resiko terhadap penerimaan negara (aspek moral). Benarkah semua argumentasi di atas? Benarkah kenaikan tunjangan pajak mampu menjadi ‘panasea’ dalam memenuhi target pajak dan membenahi kedisiplinan aparat pajak? Adilkah suatu lembaga yang kinerjanya akhir-akhir ini dipertanyakan karena target pajaknya tak tercapai, namun mendapat kenaikan tunjangan yang begitu fantastis?

Pemberian tunjangan yang begitu besar terhadap DJP disatu sisi menggambarkan betapa besar harapan para pemangku kepentingan terhadap keberhasilan DJP dalam mengumpulkan pajak sebagai salah satu sumber daya pembangunan. Namun disisi lain tunjangan yang berlebihan ini juga menggambarkan ketidakpercayaan elit Kemenkeu terhadap aparatnya sendiri, sehingga perlu adanya tunjangan finansial yang begitu besar agar aparat pajak di DJP, dari strata tertinggi hingga strata terendah ‘fokus’ terhadap tercapainya penerimaan negara. Publik bisa jadi heran dengan pola pikir elit Kemenkeu yang menyikapi kenaikan target pajak dengan menaikkan upah aparat pajak. Apalagi bila melihat tabel remunerasi aparat pajak yang terkesan sekedar bagi-bagi kesejahteraan atau distribution of wealth secara berlebihan oleh negara tanpa dasar yang jelas. Apa buktinya?

Sama Rata Sama Rasa

Siapapun memahami bahwa struktur jabatan PNS (sekarang namanya Aparatur Sipil Negara atau ASN) belum menggambarkan fungsi masing-masing unsur jabatan dan kontribusinya terhadap organisasi. Sebagai contoh, tidak semua eselon 3 memberikan kontribusi yang sama terhadap target capaian lembaga. Ada eselon 3 yang fungsinya terkait langsung dengan capaian target pajak, namun ada juga eselon 3 yang fungsinya hanya sebagai pendukung. Ada peran yang menentukan naik turunnya, tinggi rendahnya penerimaan pajak, seperti auditor, penyuluh pajak, dsb. Namun ada pula yang tak memiliki banyak pengaruh dengan target pajak, seperti gugus-gugus tugas administratif, bagian umum, bagian kepegawaian dan hal-hal yang sifatnya utility. Masing-masing memiliki beban, fungsi, serta kontribusi yang berbeda. Apakah semuanya harus diberi kenaikan ‘reward’ yang sama besarnya? Sangat tak masuk akal suatu lembaga sebesar DJP dapat terjebak dalam semangat “sama rata sama rasa” dengan format tunjangan sebagaimana tercantum pada Perpres 37/2015 tersebut.

Ambil contoh, jabatan eselon 3 yang mendapat tunjangan sebesar Rp42.058.000 hingga Rp46.478.000. Bila setiap eselon 3 mendapatkan tunjangan sebesar itu, maka bagaimana dengan eselon 3 yang berada di bagian umum di Kanwil Pajak. Atau yang mengurusi bagian kepegawaian? Belum lagi bila wilayahnya begitu terpencil yang mana wajib pajaknya bisa dihitung dengan jari serta beban kerjanya bisa disambi dengan mancing ikan di kali? Apakah adil menyamaratakan tunjangan itu kepada setiap aparat pajak hanya karena eselonisasinya sama. Belum lagi bila dibandingkan dengan pajabat dengan eselon yang sama di unit eselon 1 atau di kementerian lain. Seorang eselon 3 di Kementerian ESDM yang siang malam memikirkan target lifting minyak untuk APBN, atau eselon 3 di unit lain yang merumuskan peraturan dalam rangka intensifikasi dan ekstensifikasi pajak jelas berperan besar dalam meningkatkan penerimaan pajak. Apakah adil jika mereka terpaksa menikmati tunjangan yang nilainya jauh lebih kecil hanya karena mereka tak dianggap sebagai aparat pajak?

Hal yang sama juga berlaku terhadap jabatan eselon 4 yang jumlahnya cukup banyak. Begitu juga untuk para pejabat eselon 2 dan eselon 1 yang tunjangannya membuat pengusaha seperti saya menyesal tak menjadi aparat DJP saja. Belum lagi kecemburuan para pelaksana ‘ketapel’ di kantor-kantor pajak yang kerap kita baca di sosial media. Saya menangkap kesan bahwa ini adalah ‘bancakan’ duit APBN dengan alasan yang seolah-olah mulia.

Dari mana angka 250 persen itu berasal ?

Hal lain yang juga penting dipertimbangkan oleh Menteri Keuangan adalah soal besaran kenaikan tunjangan pajak. Dibanding ‘take home pay’ tahun sebelumnya, eselon 4 hingga eselon 1 rata-rata mendapatkan kenaikan tunjangan sebesar 250%, suatu angka yang fantastis! Sementara bagi aparat pelaksana juga terjadi kenaikan meski jumlahnya jauh lebih kecil. Pertanyaannya, dari mana angka itu berasal? Apakah dari langit? Apa dasar ilmiahnya? Bagaimana angka ini mampu menggambarkan bahwa itu lah harga yang layak publik (negara) bayar atas reformasi pajak yang akan dilakukan? Sebagai seorang akademisi Prof DR Bambang Brodjonegoro mestinya peka dengan persoalan semacam ini dan mampu menjelaskan mengapa angka kenaikan sebesar itu dapat muncul. Kalau perlu hadirkan pula lembaga konsultan yang menyusun studi dan naskah akademisnya. Meski semua tahu hal ini sudah dikonsultasikan bersama DPR, namun kenaikan tunjangan ini begitu mengusik rasa keadilan banyak pihak, terutama pembayar pajak seperti saya.

Ketidakadilan juga tampak ketika Perpres 37/2015 berbicara soal persentase ‘reward’ yang akan diberikan. Disitu diuraikan bahwa tunjangan akan dibayarkan berdasarkan persentase target pajak yang tercapai. Sekilas hal ini cukup fair. Namun bila kita telaah, khusus untuk tahun 2015 tunjangan atau ‘reward’ yang diberikan bulat 100 persen, terhitung sejak Januari 2015. Seratus persen dibayarkan tanpa mempertimbangkan prestasi DJP di tahun sebelumnya yang tidak mencapai target. Sehingga dengan kata lain dengan kinerja DJP yang belum terbukti, DJP mendapat ‘gaji buta’ seratus persen. Bahagianya!

Belum lagi bila memperhatikan proporsi capaian yang disyaratkan dengan persentase ‘reward’ yang diberikan sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 4 Perpres 37/2015. Di pasal tersebut Pemerintah mengatur bahwa ‘reward’ dibayarkan sesuai dengan target pajak yang tercapai. Sehingga bila target yang tercapai sebesar 70 persen, maka tunjangan diberikan sebesar 70 persen, target tercapai 80 persen maka tunjangan dibayarkan sebesar 80 persen, target tercapai 90 persen maka tunjangan dibayarkan sebesar 90 persen, dan tunjangan akan dibayarkan secara penuh 100 persen bila target tercapai sebesar 95 persen atau lebih. Namun yang menarik bila target pajak hanya mencapai kurang dari 70 persen, maka tunjangan yang akan dibayarkan adalah 50 persen. Ini artinya bila target pajak yang tercapai sebesar 70 persen saja, maka aparat pajak masih dapat menikmati kenaikan 125 persen! Suatu jumlah yang masih terasa besar dibanding dengan tunjangan kementerian lainnya. Proporsi semacam ini hanya menggambarkan ‘reward’ tanpa ‘punishment’, ‘big carrot with no stick!’

Fenomena good boy vs bad boy

Siapakah pahlawan APBN? Apakah semua orang pajak adalah pahlawan APBN? Bagaimana dengan bendaharawan-bendaharawan yang memungut pajak untuk disetorkan ke instansi pajak? Bagaimana dengan unit-unit lain seperti perdagangan, perindustrian, pertambangan, kelautan dan perikanan, pariwisata, perusahaan-perusahaan penyedia jasa, para guru dan dokter yang menghasilkan penerimaan negara baik dalam bentuk pajak maupun PNBP, serta jenis penerimaan negara lainnya? Apakah mereka tak layak disebut pahlawan APBN semata karena tak ada kata ‘PAJAK’ dalam lembaganya?

Bagaimana pula bila aparat pajak tak diberi kelebihan dalam penghasilan? Apakah benar penyimpangan akan makin besar bila negara tak menaikkan tunjangan karyawan pajak? Begitu istimewakah squad pajak ini sehingga tak ada cara lain untuk memaksa mereka giat bekerja selain menaikkan upah secara jor-joran?

Begitu lama birokrasi negeri ini terkungkung dengan persoalan good boy vs bad boy semacam ini. Giving rewards to the bad boys but giving punishments to the good ones. Negara laksana orang tua bodoh yang memiliki dua anak, yang satu bengalnya bukan main sementara yang satu baiknya luar biasa. Kala sang anak yang baik minta dibelikan sepeda demi kelancaran studinya, dengan beragam dalih dan beribu alasan sang ortu mengabaikannya. Kita yakin tak kan terjadi apa-apa terhadap isi rumah, meski sang good boy kita ini harus menelan ludah kekecewaannya dan mencari cara sendiri untuk melancarkan studinya.

Namun kala anak yang bengalnya minta ampun menuntut motor karena tuntutan lifestle-nya, tanpa pikir panjang ortu mengabulkannya. Kalau perlu minta motor ortu belikan mobil. Sebagai ortu kita lakukan itu semata karena takut ancaman mogok sekolahnya, takut ancamannya terhadap seisi rumah bila itu tak terpenuhi. Padahal tahun demi tahun janji menjadi anak baik tak juga kunjung terpenuhi. Jadilah kita kini menjadi orang tua yang konyol yang gemar memberi hadiah berlebih pada anak yang bengal, namun ‘menghukum’ saudaranya yang baik akhlaknya.

Big and Easy Carrot With No Stick

Sudah lama kementerian keuangan menjadi penyebab rasa iri aparat biroksasi lainnya di tanah air. Di tahun 1970an kementerian ini pernah mendapat kenaikan tunjangan sebesar 9 kali gaji pokok demi menekan kasus penyelewengan dana APBN. Setelah itu beberapa kali pemerintah menaikkan tunjangan kemenkeu dengan alasan tambahan jam kerja yang lebih panjang dibanding PNS lainnya. Di tengah hiruk pikuk reformasi birokrasi, lagi-lagi kemenkeu dijadikan acuan pemberian remunerasi, memungkinkan ia mendapat remunerasi terlebih dahulu dibanding kementerian lainnya. Besaran yang diberikan pun berbeda. Bila kemenkeu mendapatkan 100 persen, maka remunerasi di kementerian lain cukup 70 atau 80 persen saja. Sikap ini menempatkan kemenkeu sebagai anak emas birokrasi.

Apakah perlakuan istimewa itu serta merta menjadikan kinerja dan output kemenkeu begitu istimewa? Apakah bila begitu istimewa otomatis menjadikan aparat kemenkeu profesional dan berintegritas. Masalah profesionalisme dan integritas inilah yang begitu mengecewakan di lapangan.

Masih hangat di ingatan kala KPK menggerebek Kantor Pelayanan Bea Cukai (KPBC) di Tanjung Priok dengan temuan begitu banyak uang hasil pungli. Padahal kala itu adalahawal remunerasi sebagai bagian dari reformasi birokrasi di kemenkeu. Begitu pula dengan kasus-kasus penyelewengan aparat pajak bernama Gayus cs yang memiliki dana ratusan miliar dengan berbagai asset di manca negara. Ada pula aparat pajak yang tertangkap tangan menerima suap dengan nilai miliaran padahal tunjangan dan ‘take home pay’ mereka tertinggi di republik ini.

Kini setelah semua itu berlalu, kembali bangsa ini menaikkan upah aparat pajaknya. Kali ini dengan lonjakan luar biasa. Menaikkan tanpa komitmen pengaturan yang lebih baik. Kenaikan tanpa sanksi yang lebih berat. Padahal semua tahu, puluhan tahun berjalan, kinerja aparat pajak ya begitu begitu saja.

Bagi saya, profesionalisme aparat pajak tak begitu istimewa. Sepanjang pengamatan saya berinteraksi dengan kantor pajak, sebagian besar proses kerja di kantor pajak tak lebih sekedar administrasi penerimaan pajak, yang mana sumber-sumbernya sebagian besar berupa setoran dari pihak-pihak yang diwajibkan oleh undang-undang untuk memungutnya.

Salah satu soal penting tentang integritas adalah soal kepastian hukum. Dan persoalan ini sejak lama menjadi masalah dalam internal birokrasi, tak terkecuali kemenkeu. Persoalan penyelewengan yang dilindungi atasan, kasus terhukum yang justeru mendapat promosi, atau terhukum yang tetap menjabat dengan segala fasilitas yang dinikmatinya, tetap menjadi ganjalan dalam reformasi birokrasi kemenkeu. Kasus suap pajak yang beberapa waktu lalu terjadi dan menyeret nama pimpinan tertinggi DJP juga sempat mengusik rasa keadilan. Apalagi tudingan itu terkesan diabaikan dan berlalu begitu saja. Kalau sudah seperti ini, kita hanya bisa berkata: Lucu Benar Negeri Ini !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun