Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Membingkai Wujud Perlindungan yang (Lebih) Pantas bagi Guru

28 Maret 2017   05:21 Diperbarui: 28 Maret 2017   16:00 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tingginya tuntutan terhadap lulusan pendidikan menengah yang kompeten mendorong setiap sekolah untuk mencetuskan sebuah program unggulan.  Program-program tersebut dapat berupa peningkatan pendidikan karakter, keahlian olahraga, peningkatan kemampuan religiusitas, peningkatan kepedulian terhadap lingkungan, dan lain-lain. Harapannya, selain memiliki kemampuan akademik dan keterampilan yang baik, lulusan pendidikan menengah juga memiliki kompetensi lain yang dapat berguna di kehidupan masyarakat.

Namun demikian, perkembangan zaman telah merubah karakter dan gaya hidup siswa masa kini. Perilaku yang dianggap sebagai ”kekinian” lebih banyak bertentangan dengan nilai-nilai atau norma yang berlaku di masyarakat. Pergaulan yang menjurus ke arah kebebasan bukan lagi hal tabu, namun dianggap sebagai gaya hidup yang mengikuti perkembangan zaman.

Melihat fenomena yang terjadi di kalangan siswa saat ini, seperti tawuran antar pelajar, gaya berpacaran, dan pergaulan bebas tentu membuat miris di kalangan guru sebagai pendidik mereka di sekolah. Guru harus berpacu lebih cepat untuk menangkal berbagai faktor yang mendorong mereka berbuat di luar batas norma dan nilai-nilai yang berlaku masyarakat.

Tantangan yang begitu berat membuat beban tugas guru semakin besar. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa tugas utama guru adalah sebagai pendidik. Adapun pendidik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti orang yang mendidik, yang memiliki arti memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan.

Berdasarkan landasan yuridis di atas, guru memiliki tugas utama untuk mengajarkan tentang akhlak dan kepribadian melalui pengasuhan, kepemimpinan, dan keteladanan. Adapun selama ini sebagian besar guru hanya berfokus pada pembelajaran akademik di kelas. Namun demikian, pencapaian akademik seolah menjadi hasil semu karena didapatkan melalui proses pendidikan yang tidak benar seperti mencontek dan sejenisnya. Hal ini disebabkan karena penilaian unsur afektif  di nomor duakan.

Menggabungkan tugas mendidik dan mengajar memang bukan suatu hal yang mudah. Selama ini guru sudah diribetkan dengan urusan administrasi pembelajaran yang begitu banyaknya. Padahal rancangan administrasi pembelajaran tersebut tidak selalu tepat saat diaplikasikan di kelas. Hal ini didorong kenyataan bahwa tidak semua anak yang hadir di kelas memiliki niat, kemampuan, dan kemauan untuk belajar. Bahkan ada banyak kasus yang mengindikasikan bahwa mereka hadir di sekolah hanya untuk ”bersenang-senang”.

Melihat kondisi tersebut, dapat dibayangkan betapa beratnya tugas guru di sekolah. Selain harus meningkatkan prestasi akademik, mereka juga dituntut untuk memperbaiki akhlak dan perilaku siswa yang mulai menyimpang dan bertentangan dengan budaya luhur bangsa Indonesia. Ironisnya, tugas tersebut harus dipikul sama rata oleh guru dengan status yang berbeda, yakni guru PNS dan non-PNS atau yang biasa disebut dengan GTT (guru tidak tetap).

Tentu ada ketimpangan saat kewajiban yang sama ditanggung oleh guru dengan status yang berbeda. Hal ini perlu diketahui bahwa tingkat kesejahteraan GTT jauh dari kata layak, meskipun sebagian dari mereka sudah mendapatkan TPP. Akibatnya, tingkat kesejahteraan yang rendah mendorong mereka untuk mengabaikan kata ”PROFESIONALISME” dalam bertugas.

Sebagai solusi atas ketidakmampuan mereka dalam meningkatkan kesejahteraan sesuai dengan profesinya, maka jalan yang diambil adalah dengan menjalani profesi ganda. Ada guru (tidak hanya GTT) yang berbisnis, menjadi tukang ojek, berjualan keliling, dan sebagainya. Fakta seperti ini tentu mencengangkan bagi dunia pendidikan karena guru-guru tersebut tidak akan fokus dalam menjalankan profesinya. Akibatnya, banyak guru yang tanpa sadar sudah melakukan ”MAL PRAKTEK”. Jika seorang dokter melakukan mal praktek hanya membunuh atau mencederai satu orang pasien, namun jika seorang guru melakukan mal praktek, maka dia dapat membunuh satu generasi. Atas dasar tersebut, maka perlunya ada perlindungan profesi bagi guru.

Perlindungan profesi bagi guru meliputi perlindungan hukum, perlindungan jiwa, dan perlindungan finansial. Perlindungan hukum terkait dengan legalitas mereka dalam bertugas seperti memiliki NUPTK atau sertifikat pendidik. Sebagai contoh, dari 2.906.239 jumlah guru di Indonesia, masih ada 522.722 yang belum memiliki NUPTK (data.gtk.kemendikbud.go.id). Kepemilikan NUPTK akan berkaitan erat dengan hak mendapatkan berbagai tunjangan dan hak peningkatan kompetensi guru seperti mengikuti bimbingan teknis dan lomba-lomba yang diadakan oleh kemendikbud melalui kesharlindung.

Sama halnya dengan kepemilikan sertifikat pendidik. Sertifikat pendidik merupakan bukti seorang guru diakui secara profesional. Namun demikian, indikator penilaian bagi guru profesional sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan pelayanan terhadap siswa. Seharusnya, guru profesional itu memiliki kualitas kerja yang baik, bukan kuantitas beban kerja yang banyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun