Rezim Informasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah rezim mempunyai arti tata pemerintahan atau pemerintahan yang berkuasa. Maju mundur atau perubahan suatu bangsa pada dasarnya ditentukan oleh rezim yang berkuasa. Akan tetapi, berdasarkan kebiasaan istilah rezim seringkali digunakan dengan pengertian negatif atau untuk kekuasaan yang dianggap bertentangan dengan moral dan kemanusiaan serta agak bernada menghina. Seperti, rezim penindas, rezim terkorup, dll. Jarang sekali kita mendengar istilah rezim untuk kekuasaan yang dianggap baik, seperti rezim antikorupsi, rezim demokrasi, dll.
Istilah Rezim informasi sendiri adalah sebutan penulis untuk era keterbukaan informasi publik pasca diberlakukannya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 tahun 2008yang juga merupakan salahsatu produk hukum di era Reformasi. Kebebasan pers dan keterbukaan Informasi merupakan salahsatu pembeda antara era reformasi dan era sebelumnya.
Maka, dapat dikatakan bahwa salahsatu ciri khas dari rezim sebelumnya adalah tertutupnya akses informasi masyarakat terhadap berbagai macam berita/ info mengenai kebijakan dan pengelolaan keuangan pemerintah. Ketertutupan informasi tersebut secara tidak langsung sangat berperan terhadap semakin maraknya praktik korupsi di berbagai lini kehidupan.
Undang-Undang KIP No.14 Tahun 2008
Saat ini, akses masyarakat terhadap informasi disamping telah diatur dalam Undang-Undang Dasar pasal 28F yang menyebutkan hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang juga kemudian diatur dalam Perundang-undangan keterbukaan informasi (UU KIP No 14 Th 2008). Dalam Undang-Undang tersebut telah diatur bagaimana hak seseorang maupun organisasi/lembaga dalam mendapatkan informasi sampai pada sengketa informasi antara pemohon informasi dengan termohon. Akan tetapi, penyebaran dan pemahaman terhadap Perundang-undangan tersebut belum mampu diimplementasikan secara menyeluruh oleh para penyelenggara negara/ badan publik. Dalam Undang-undang ini masyarakat berperan sebagai subjek. Tetapi, didalam prakteknya kadangkala masyarakat sipil masih diposisikan sebagai objek penderita saja. Para pejabat dilembaga publik se-akan melupakan bahwa posisi transparansi informasi adalah kewajiban badan publik yang telah diatur, sedangkan masyarakat adalah yang berhak mendapatkan informasi.
Sampai saat ini, sebagian besar badan publik masih beranggapan bahwa informasi tentang kebijakan dan keuangan yang mengatur tata kelola pemerintahan dan warganya hanya milik badan publik bersangkutan. Masyarakat hanya sebagai objek dan terus dijadikan objek penipuan para birokrat korup. Kondisi tersebut dapat kita temukan diberbagai lembaga publik yang enggan memberikan informasi terkait anggaran, program kelembagaan atau kedinasannya.
Perlu diketahui sebelumnya bahwa yang disebut badan publik menurut Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 tahun 2008 pasal 1 adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, atau organisasi non pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi, bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, kebuntuan sebuah informasi dan ketertutupan informasi merupakan salahsatu penyebab terhambatnya proses demokrasi dan pengembangan pribadi dalam peningkatan potensi dan kapasitas di lingkungan masyarakatnya. Adapun pengertian informasi itu sendiri menurut seorang ahli Gordon B Davis adalah informasi adalah data yang telah diolah menjadi suatu bentuk yang penting bagi si penerima dan mempunyai nilai yang nyata yang dapat dirasakan dalam keputusan-keputusan yang sekarang atau keputusan-keputusan yang akan datang.
Pada hakekatnya, tertutupnya informasi telah menyebabkan ketidakseimbangan relasi antara badan publik dalam hal ini adalah pemerintahan dengan masyarakat sipil. Sampai saat ini, masyarakat hanya dijadikan sebagai objek dari berbagai kebijakan yang dilahirkan. Proses partisipasi masyarakat sipil dalam pengawasan sering kali hanya berlaku bagi segelintir orang saja (aktivis sosial), padahal pada dasarnya seluruh masyarakat (setiap orang) berhak tahu atas semua informasi terkait semua hal tanpa memandang setatus atau pekerjaan seseorang, kecuali informasi yang dikecualikan sebagaimana termaktub pada pasal 17 Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, seperti sebuah informasi yang apabila diberikan dapat mengganggu pertahanan dan keamanan negara, dll.
Semangat utama yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) adalah untuk mendorong adanya proses penyelenggaraan negara yang bertanggungjawab, terbuka, efektif dan efisien serta membuka ruang bagi peningkatan kapasitas masyarakat/publik yang lebih luas. Pada dasarnya semakin tinggi tingkat pengetahuan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang ada, maka secara tidak langsung semakin tinggi juga tingkat partisipasi masyarakat terutama dalam pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Ketika tingkat partisipasi masyarakat semakin kuat dalam pengawasan maka sudah dipastikan penyelenggaran pemerintahan yang ada akan semakin efektif dan efisien.
Pengawalan Transparansi Informasi
Pentingnya peran dan partisipasi masyarakat dalam mengawal agenda keterbukaan informasi publik tentu saja harus sebanding dengan keseriusan pemerintah dalam memfasilitasi proses keterbukaan informasi tersebut. Saat ini, badan publik yang khusus menangani dan mengawal proses keterbukaan informasi adalah komisi informasi. Komisi Informasi diharapkan mampu berperan aktif dalam mewujudkan dan menciptakan masyarakat yang peduli dan berperan dalam proses keterbukaan informasi.
Netralitas komisi informasi menjadi modal utama komisi informasi dalam mewujudkan rezim baru keterbukaan informasi. Bisa jadi, maju mundurnya tingkat aksestabilitas masyarakat terhadap informasi berada ditangan para komisioner Informasi. Sejauhmana pemahaman masyarakat terhadap pentingnya informasi dan sesering apa masyarakat mengakses informasi menjadi salahsatu faktor untuk mengevaluasi sejauhmana proses penyadaran dan kampanye para komisioner terhadap para penyelenggara negara atau badan publik lainnya terkait dengan keterbukaan informasi publik.
Semakin banyaknya permohonan informasi yang disengketakan ke komisi informasi, menunjukan beberapa kemungkinan. Pertama dengan banyaknya permohonan sengketa informasi yang diajukan ke komisi informasi secara tidak langsung menggambarkan masih rendahnya pemahaman atau komitmen badan publik/ termohon terhadap keterbukaan informasi publik. Kedua kondisi tersebut menggambarkan kondisi masyarakat yang haus akan informasi atau dengan kata lain meningkatnya keingintahuan masyarakat/publik terkait hak nya (informasi).
Pembenahan internal pemerintah selaku bagian dari badan publik sangat penting untuk mendorong supaya pemerintah dapat berfungsi dengan baik dan efektif dalam menjalankan roda pemerintahannya untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi dengan jalan keterbukaan dan pertanggungjawaban badan publik terhadap publik/masyarakat selayaknya dimulai dari pemerintahan itu sendiri sehingga pada saat menjalankan kewajibannya atau tugas, pokok dan fungsinya dapat berjalan tanpa beban.
Disahkannya Undang-Undang No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) telah memberikan angin segar bagi publik dalam keterpenuhan hak atas informasi. Melalui undang-undang ini diharapkan mampu memberikan ruang yang lebih luas bagi publik untk mengakses informasi yang dibutuhkan dan tidak dikecualikan. Karena disisi lain Keterbukaan informasi adalah suatu kondisi untuk memungkinkan demokrasi berfungsi dengan baik. Karena pada hakekatnya tidak akan ada perbaikan sistem pemerintahan tanpa partisipasi masyarakat sipil. Dan tidak akan ada partisipasi masyarakat sipil tanpa adanya transparansi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H