Saya mendengar kata-kata parau mengusik keberadaan ku yang tiada.
Kata kata yang membentuk sajak sajak tandas,
Mungkin tentang hening yang beradu dengan rindu.
Atau tentang gemilang kenang yang kini mengalahkan mu.
Memang, rindu selalu begitu.
Malu-malu dan banyak mau.
Sekarang saya ingat.
Rasanya baru kemarin kamu menari-nari dengan kesenangan palsu,
Dan sekarang teriak soal rindu.
Saya mengerti perasaan mu.
Dada yang mencekam itu, dan semua ceria yang kulihat di wajahmu selalu bertengkar dalam setiap keadaan.
Berhentilah seperti itu.
Maksudku, habisi semua kesedihan mu untuk berbahagia.
Lalu menghadapi kesedihan yang baru.
Bukankah begitu cara kita hidup dalam banyak waktu?
Maaf,
Maaf tentang keberadaan ku yang tiada
Ketika kesedihan memberangus mu.
Dan saya percaya kamu telah biasa dan bisa menghadapi nya.
Seperti kata yang bicara soal senja.
Atau seperti rasa yang tak pernah bersuara.
Berbahagialah seperti kamu pernah tertawa dihadapan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H