Mohon tunggu...
Dedi Padiku
Dedi Padiku Mohon Tunggu... profesional -

Hidup adalah pilihan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Gara-gara Buku Maryam Mah Kapok

27 Januari 2011   10:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:08 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12961246461105723138

Awalnya begini, saat itu aku berada dalam bis dari kampung rambutan menuju grogol, dan beruntung masih ada sebuah kursi kosong disebelah wanita itu. Wanita ini cuek dan tak sedikit pun peduli akan kehadiranku. Padahal sejak tadi aku berusaha keras secara habis-habisan mengeluarkan segala kemampuanku untuk mendapatkan perhatian darinya. Semua cara yang aku lihat di sinetron-sinetron talah aku keluarkan, tetapi masih saja tak mempan. Alih-alih mendapatkan simpati, sebaliknya wanita ini memperlihatkan sikap muak dengan senyum mencibir yang berarti: “dasar orang udik kampungan”. Kurang ajar betul. Namun walaupun begitu aku tetap tak putus asa, dan bahkan aku sempat berdoa agar terjadi gempa bumi yang dasyat, gedung-gedung hancur, pohon-pohon tumbang, semua orang ketakutan, wanita ini pingsan dan aku jadi pahlawan penolongnya. Setelah merapikan rambutku yang acak-acakan aku menatapnya dengan senyum terbaikku, mengalahkan senyum pegawai bank ketika melayani para nasabah, yang mengesankan kalau aku ini terpaksa naik bis karena mobilku mogok ditengah jalan. Namun masih saja wanita ini tak bergeming. Akhirnya aku mengalah menghentikan usahaku. Aku semakin jengkel dan untung saja aku teringat dengan buku maryam mah kapok yang belum selesai aku baca. Dengan gerakan yang sangat terjaga aku mengeluarkan buku itu dari dalam tasku. Dalam sekejap aku sudah melupakan kehadiran wanita yang berada disampingku. Aku tersenyum-senyum sendiri lebih tepatnya bisa dibilang manyun-menyun. Dan mungkin karena saking seriusnya membaca buku maryam mah kapok, tak sengaja aku menumpahkan air aqua yang belum sempat aku minum kearahnya. Waduh celaka, gawat jadinya kalau begini, ”ma..ma...aaf”. ucapku dengan bibir bergetar gugup. Aku tak tahu harus berbuat apa. Dalam kepanikan aku berusaha menyembunyikan kegugupanku. Namun semakin kuat aku berusaha semakin salah tingkah. aku cemas memikirkan berbagai macam kemungkinan yang akan ia lakukan terhadapku. Aku sering melihat kejadian, tak jarang seorang wanita menampar seorang pria Cuma karena pria itu memperhatikan wajahnya saat ia melintas di depannya. Dan sering juga terjadi setelah menamparnya, ia akan menghina pria itu dengan kata-kata yang sangat menyakitkan hati. Dan setelah itu biasanya pria tadi akan berkata dalam hati:”Lihat saja nanti, kau pasti akan bertekuk lutut didepanku”. Semoga saja kata terakhir tadi tak akan kuucapkan saat ia telah selesai menamparku. sebab aku tahu, meskipun aku berjanji dengan mengucapkannya dengan sungguh-sungguh, ribuan kali dalam hatiku, tidak akan mengubah keadaan. Didepannya aku tak bisa berkutik, Diam tak bereaksi. Tapi tetap berpikir keras bagaimana cara menghindar darinya. Ia menatapku, tapi aneh, dari raut wajahnya ia nampak keheranan melihat tingkahku yang ketakutan. Aku tak berani membalas tatapannya. Inginnya aku mengakui kesalahanku dan memohon maaf. Siapa tahu cara ini akan membuat ia senang. Tapi mengingat masaalahnya, mungkin minta maaf saja tak cukup. Biarlah aku akan terima apapun yang akan ia lakukan kepadaku. meskipun ia menampar dan menghinaku sepuasnya. ”apa aku membuatmu takut ?”. Tanyanya. Aku masih diam tak menjawab. Mendengar itu aku semakin lega. Sepertinya ia tak dendam sedikitpun kepadaku. Ini sungguh ajaib. Bagaimana mungkin orang yang telah aku buat jengkel, tak sedikitpun marah kepadaku. Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Aku berharap semuanya akan berakhir. Namun yang terjadi kemudian sungguh diluar dugaan. Ia tersenyum ramah kepadaku. ”tenang saja aku tak akan menggigitmu”. Katanya sedikit menggoda. Aku tercekat, apa aku tak salah dengar. Ini sungguh aneh. Bukannya marah-marah, malah sebaliknya ia menggodaku. Aku tertawa dalam hati tak habis pikir dengan kejadian ini. Mimpi apa aku semalam atau mungkin ini hari keberuntunganku. Aku semakin heran dengannya. Kutatap mata indahnya berharap menemukan sesuatu disitu. Aku merasakan sesuatu yang aneh. Jantungku berdetak kencang, tubuhku panas dingin. Apakah ia merasakan hal yang sama?, ucapku dalam hati. ”oh ya namamu siapa ?”. Tanyanya santai. Disampingnya Aku masih tetap diam tak menjawab pertanyaanya. ”kenapa diam, kau marah kepadaku”. Kali ini ia nampak lebih bersahabat. ”tidak, aku tidak marah, Cuman heran saja, aku pikir kau yang akan marah kepadaku”. Kataku datar dan masih memandang wajahnya yang semakin cantik. Raut wajahnya mengesankan seolah ia telah melupakan kejadian itu. Aduh aku hampir lupa ia menanyakan namaku tadi. ”oh maaf namaku dedi padiku. Tapi panggil saja dedi lebih gampang”. Lanjutku. Kali ini aku semakin tenang. ”aku eni”. Jawabnya. ” ohya eni maaf atas Kejadian tadi, itu terjadi dengan sendirinya, bahkan aku baru sadar setelah melakukannya”. Kataku dengan raut wajah penuh penyesalan. Ia semakin iba melihatku. Pandangan matanya mengesankan seolah aku adalah pria jantan yang berani mau mengakui kesalahan dan sangat jarang ditemukan. Aku tersenyum dalam hati. Rupanya aku telah membuat ia terharu, ah mungkin saja sebentar lagi ia akan menangis. Ternyata aku tidak salah menggunakan cara ini, yaitu cara yang sering aku lihat di film-film barat dengan membuat masaalah serius pada seorang wanita dan setelah itu ia akan mengakuinya didepan wanita itu deangan wajah penuh penyesalan. Setelah itu ia akan meninggalkan wanita itu dalam keadaan terharu dengan mata berkaca-kaca. Tak terasa bis yang kami tumpangi berhenti tepat didepan kantor dpr senayan. Kami pun turun bersama karena kebetulan ia juga akan ke istora senayan untuk berburu buku dalam diskon besar-besaran. Baiklah sekarang aku tinggal melaksanakan langkah terakhir yaitu meninggalkannya tanpa peduli sedikitpun. Setelah itu aku tinggal menyaksikan ia akan menangis menahanku pergi dengan mengatakan: dedi tolong jangan tinggalkan aku, kumohon. Ah... Sangat sempurna, elegan sekali. ”eni maaf aku harus pergi untuk melakukan pekerjaanku menyebarkan brosur ini”.ucapku sehalus mungkin mengesankan kalau aku sangat menyesal. Dan tanpa menunggu jawaban darinya aku terus melangkah meninggalkannya berpura-pura tak peduli sedikitpun. Aku menunggu saat aku pergi ia akan menahan tanganku dan mengucapkan dedi jangan pergi aku mohon. Alangkah indahnya dunia ini jika itu yang terjadi. Tapi kenyataanya tak sedikitpun ia menahanku. kurang ajar betul. Kali ini aku salah membuat rencana. Aku marah kepada diriku sendiri. Seandainya tadi aku tak mengikuti cara-cara di film barat itu, mungkin sekarang aku masih berada didekatnya. Sungguh bodoh diriku ini. Beginilah akibat terlalu banyak menonton sinetron. Aku semakin jauh darinya tapi tak sedikitpun ia memintaku berhenti. Apa aku urungkan saja niatku untuk meninggalkanya. Tapi aku taru dimana mukaku nanti jika tiba-tiba tanpa sebab aku balik lagi kepadanya. Aku semakin bimbang dengan keputusanku. Namun samar-samar aku mendengar suaranya memanggilku ”dedi” panggilnya lirih. Aku terhenti tak percaya dengan pendengaranku. Aku tahu eni berjalan mendekat kearahku, semakin dekat, dan aku semakin tak sabar menunggu kata darinya. ”dedi. Maaf, aku hanya ingin menanyakan disebelah mana tempat untuk membeli buku yang kau baca tadi”. Tanya eni datar. Dan saat itu juga tubuhku serasa lemas, aku baru sadar rupanya sikap baiknya tadi Cuma karena tertarik dengan buku maryam mah kapok yang aku baca sewaktu dimobil tadi. Huhh. Padahal aku sudah membayangkan ucapan memelas darinya yang berbunyi: dedi jangan tinggalkan aku sendirian aku mohon. hikssss Tapi tak mengapa setidaknya ia telah menemani aku sampai kedalam istora senyan. Dan itupun karena ia ingin diantar ke stand asma nadia untuk membeli buku maryam mah kapok, bukan semata-mata karena termakan jurus ampuh ala sinetron yang aku terapkan. [caption id="attachment_87584" align="aligncenter" width="471" caption="Dedi Padiku, Asma Nadia, Isa Alamsyah, Buku"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun