Mohon tunggu...
Dedi Mulyadi
Dedi Mulyadi Mohon Tunggu... Penulis - Dedi Mulyadi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis memberikan kontribusi bagi masyarakat , mencerdaskan masyarakat, tidak diperkenankan mengutip tulisan untuk komersial.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hapus Ambang Batas Presiden (Presidential Treshold)

25 Mei 2021   08:30 Diperbarui: 20 Agustus 2021   08:14 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok : Pribadi/Penulis

Kendati pemilihan presiden masih beberapa tahun lagi, akan tetapi euforia dimasyarakat Indonesia sudah mulai terasa.

Padahal bursa pencalonan presiden di 2024 akan didominiasi wajah-wajah lama, meski presiden Jokowi tidak dapat dicalonkan kembali mengingat Undang-Undang Dasar '45 membatasi jabatan seorang presiden hanya 2 priode.

Tetapi ada saja wacana segelintir orang yang menginginkan Presiden Jokowi 3 priode dengan mengamandemen Undang-Undag Dasar '45.

Terlepas dari itu, pemilihan presiden di 2024, tetap saja  partai besar yang mempunyai mayoritas di Parlemen yang dapat mencalonkan presiden.

Mengingat penerapan ambang batas pencalonan presiden ( Presidential thershold ) itu 20 persen perolehan kursi di DPR, masih menjadi perdebatan,  sebab penerapan ambang batas 25 persen suara akan  mengubur partai kecil mencalonkan Presiden apalagi maju sebangai independen hal yang mustahil.

Pada akhirnya masyarakat dipaksa untuk menerima, kalau saja ambang batas Presiden  dihapus akan banyak masyarakat memilih konstestan Pilpres yang benar-benar mampu memimpin Indonesia 5 tahun kedepan.

Selain itu aturan ambang batas Presiden memaksa partai-partai gurem mengikuti kemauan partai besar dalam pencalonan Presiden.

"Menurut pengamat Komunikasi Universitas  Esa Unggul Jakarta yang juga mantan Dosen IISIP Jakarta, M. Jamiluddin Ritonga mengatakan, partai besar akan semena-semena menentukan siapa yang akan diusung pada setiap pilpres. "Masyarakat akhirnya harus menerima capres dan cawapres yang diputuskan partai besar," demikian kata Jamaludin dikutip Kantor Berita Politik RMOL, Senin (24/5)

"Akibatnya pasangan  yang diajukan  setiap  Pilpres menjadi terbatas. Celakanya pasangan yang kerap kali diajukan tidak diharapkan sebagian masyarakat karena pertimbangan banyak hal, kata M. Jamiluddin Ritonga, yang juga pernah menjadi dosen penulis.(dm).

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun