Mohon tunggu...
dedi mi
dedi mi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Beban Toleransi Umat

15 Juli 2015   14:20 Diperbarui: 15 Juli 2015   14:20 1144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - pengamatan hilal (KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO)

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS 3 : 190)

''Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya." (QS 21 : 33)

Setiap tahun sudah menjadi tradisi bagi umat Islam di Idonesia untuk menyaksikan fenomena penentuan bulan baru kalender Hijriyah. Khususnya ketika memasuki bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, karena pada bulan-bulan tersebut terdapat kegiatan beribadah umat Islam yang bersifat massal yang sangat erat kaitannya dengan penanggalan. Itu sebabnya juga mengapa pada penentuan awal bulan-bulan Hijriyah yang lainnya tidak se-heboh pada tiga bulan tersebut.

Sesuai dengan “pancingan” dari Allah SWT pada kutipan dua ayat di atas, maka manusia secara fitrah akan terus mengembangkan akal pikirnya yang terimplementasi dalam teknologi. Semakin berkembangnya teknologi, maka semakin beragam juga - khususnya - teknik dalam menentukan bulan baru Hijriyah ini. Ada yang kita kenal dengan teknik rukyat, hisab, atau kombinasi keduanya. Apabila kita gali lagi lebih jauh teknik-teknik tersebut terdapat kriteria-kriteria tertentu juga yang menyertainya, dengan kata lain; semakin rumit :D.

Jika kita menilik ke belakang sudah pernah beberapa kali terjadi di Indonesia ini perbedaan penentuan awal bulan Ramadhan, penentuan awal Syawal, pun begitu untuk bulan Dzulhijjah. Seiring perbedaan tersebut maka yang muncul adalah kontroversi di masyarakat, pada bulan Dzulhijjah misalnya, ketika hendak melaksanakan shaum sunnah 9 Dzulhijjah yang dikenal juga dengan hari Arafah, apakah akan mengikuti waktu di Arab Saudi atau waktu lokal Indonesia yang lebih lambat satu hari (pada waktu itu). Begitu juga ketika 1 Syawal, sebagian masyarakat melakukan sholat Idul Fitri dan sebagian lagi masih melaksanakan shaum. Bagaimana dengan perbedaan awal Ramadhan? Apakah berimplikasi terhadap perbedaan penentuan Lailatul Qadar pada tanggal-tanggal ganjil pada 10 malam terakhir? :D

Dari yang saya jumpai tentang sikap yang diambil oleh masyarakat terkait perbedaan tersebut, ada yang bisa menerima dengan lapang dada sehingga tidak menyulut pertikaian, namun ada juga sebaliknya sehingga terjadi adu argumen yang cenderung emosional walaupun dalam skala kecil, tidak sedikit juga perbedaan tersebut terjadi dalam satu keluarga, misalnya sang ayah sudah melakukan sholat Ied satu hari lebih cepat, sedangkan sang ibu pada esok harinya, sehingga memungkinkan terjadi kebingungan bagi sang anak harus mengikuti yang mana sementara belum memiliki pendirian/pengetahuan yang kuat.

Sementara di lain pihak; para ulama dan para pemimpin umat terus mendengungkan kepada masyarakat/umat untuk bertoleransi atas perbedaan penentuan awal bulan tersebut, karena beralasan telah mengambil keputusan yang berbeda itu melalui kajian dalil dan ilmu pengetahuan yang sama-sama kuat dasarnya dan konon ‘perbedaan itu adalah rahmat’. Sehingga umat yang mungkin ilmunya lebih sedikit, tinggal lakukan toleransi saja lah :D. Di sini saya tidak membahas teknik mana yang lebih disarankan dalam menentukan awal bulan tersebut apakah hisab, rukyat, atau kombinasi keduanya atau mungkin ada teknik yang lain, karena memang dari segi keilmuan sangat jauh dari kompetensi tersebut (disclaimer :D).

Benang merah yang ingin disampaikan adalah mengapa umat yang diberi beban untuk bertoleransi dalam menyikapi perbedaan ini? Padahal dalam menyikapi ini ada potensi perpecahan di kalangan umat, dan bukan kah potensi ke arah ini adalah lebih baik apabila dicegah? Saya meyakini ilmu hisab, rukyat, dan dalil-dalil naqli yang menyertainya sudah dikuasai dengan baik oleh para ulama baik yang berpegang kepada hisab atau pun berpegang pada rukyat. Masing-masing pihak, penulis yakin, sudah sudah sangat paham betul ayat-ayat Al Qur’an sebagai dasar penentuan awal bulan, begitu juga hadits-hadits Nabi Muhammad SAW yang telah diriwayatkan ketika menentukan masuknya bulan Ramadhan atau Syawal, serta bagaimana teknik melihat hilal pada tanggal 29 pada bulan Hijriyah, atau pun ilmu Hisab yang sudah bisa menentukan awal bulan dari jauh-jauh hari. Semua ilmu itu para ulama sudah sangat paham betul, dan saya yakin, tidak ada gap ilmu di antara para ulama yang berpegang pada hisab dan ulama yang berpegang pada rukyat. Dan satu lagi, tentang keutamaan Ukhuwah Ilslamiyah, saya pun yakin, para ulama sudah sangat paham dengan hal ini. Tetapi sekali lagi, mengapa output nya berbeda?

Dalam khazanah Islam, sangat wajar terjadi perbedaan pendapat khususnya dalam pelaksaan ritual ibadah. Saya setuju mengedepankan toleransi ketika menyikapi perbedaan yang menyangkut ibadah individu atau kelompok. Tetapi jika menyangkut ibadah yang melibatkan massa yang banyak / seluruh umat, seperti penentuan awal bulan baru ini, apakah tidak sebaiknya dilaksanakan serentak?

Apakah tidak sebaiknya bapak-bapak ulama atau pemimpin umat (yang nota bene jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding umat) bisa berlapang dada sepakat menentukan metode tunggal dalam penentuan awal bulan. Karena saya yakin, mayoritas umat tidak akan mempermasalahkan metode mana yang dipakai, yang akan langsung dirasakan adalah rasa kebersamaan di antara sesama muslim dan potensi perpecahan bisa dihindarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun