Mohon tunggu...
dedi mi
dedi mi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Afi dan Kacamata

2 Juni 2017   00:16 Diperbarui: 2 Juni 2017   01:19 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Afi adalah suatu fenomena, dimana seorang anak perempuan beranjak dewasa mampu membuat tulisan yang menyedot perhatian bisa dikatakan skala nasional, tidak lepas juga dari peran media sosial sekarang ini yang dalam hitungan menit langsung menjadi viral diakses oleh ribuan atau mungkin jutaan pengguna internet. Suka atau tidak suka hal ini adalah realita, sudah terjadi, dan mendapat tanggapan pro dan kontra. 

Terlepas dari sumber inspirasi tulisannya apakah dari tulisan orang lain, novel, film, dan lain lain, tetapi faktanya Afi bisa meramunya sedemikian rupa sehingga mendapat applause dari kalangan yang pro dan tidak sedikit juga mendapat counter dari yang kontra.

Adanya ramuan Afi, adanya kalangan yang pro, dan adanya kalangan yang kontra, hal ini dikarenakan penggunaan kacamata. Ya kacamata apa yang dipakai. Tentu bukan kacamata baca plus atau kacamata minus. Setiap orang yang terlibat, atau melibatkan diri, atau hanya pengamat malu-malu dari jarak jauh dalam fenomena Afi ini, secara sadar atau tidak mereka telah menggunakan kacamata ini untuk menilainya sehingga menjadikannya pro atau kontra. 

Kacamata di sini adalah selera…ya selera, setiap orang memiliki selera, dan selera itu tidak muncul begitu saja. Selera ini muncul bisa dari background keluarga, pendidikan, lingkungan, ideologi, keyakinan, motif ekonomi atau bahkan politik, sehingga faktor manakah yang paling kuat untuk dijadikan kacamata oleh seseorang.

Misalnya salah seorang founding father negara Indonesia, Bung Karno, dalam melihat kondisi Indonesia pada zaman penjajahan Belanda menggunakan pisau analisa ideologi marxisme sebagai kacamata yang kemudian melahirkan ideologi baru yaitu Marhaenisme, yang mana ideologi ini di zaman sekarang menjadi salah satu referensi dalam pembangunan negara Indonesia. 

Padahal dahulu bisa jadi bangsa Belanda melihat pemikiran yang dihasilkan oleh Bung Karno ini merupakan suatu ancaman karena mereka melihatnya menggunakan selera penjajah, ya kacamata penjajah yang dipakai oleh Belanda untuk melihatnya.

George Washington, salah seorang founding father negara Amerika, melakukan perjuangan agar merdeka dari tangan penjajah Inggris. Waktu itu bangsa Inggris yang secara sepihak menguasai Amerika melihatnya sebagai pemberontak tetapi sekarang dunia mengetahui bahwa George Washington adalah seorang patriot. 

Begitu juga Nelson Mandela, salah seorang Bapak Bangsa negara Afrika Selatan, ketika melakukan perjuangannya dianggap oleh penguasa Apartheid sebagai bentuk pembangkangan sehingga merasa berhak untuk memenjarakan Mandela. Namun dalam kacamata pengikutnya dan oleh dunia sekarang ini, Mandela merupakan sosok pahlawan. Begitulah, suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang bisa mendapatkan penilaian yang berbeda, tergantung kacamata apa yang digunakan untuk melihatnya.

Di zaman modern sekarang ini dalam menilai tindakan seseorang, terkadang tidak murni dari apa yang kita lihat, tidak bisa dipungkiri ada peran media itu sendiri yang dalam menyampaikan informasi melakukan penggiringan sesuai dengan kacamatanya. Sehingga dengan kata lain kacamata yang kita pakai sudah terkontaminasi oleh kacamata media yang menyampaikan informasi tersebut.

Dalam prosesnya, pihak-pihak yang memiliki kacamata yang berbeda akan saling menancapkan hegemoninya, berebut pengaruh, karena semakin mayoritas kacamata yang dipakai publik, maka itulah yang bisa menjadi standar kebenaran. Ketika sekarang dengan semakin mudahnya akses internet sehingga informasi yang dengan cepat diserap oleh publik, dan wawasan publik semakin luas dalam menilai sesuatu, yang berbanding lurus dengan sikap kritis dari publik itu sendiri, maka akan berpengaruh terhadap strategi berebut hegemoni di atas. 

Jika masih menggunakan strategi zaman dulu seperti contoh di atas dengan kekerasan, pemaksaan yang frontal, atau dalam istilah sekarang dengan teknik bully, dihadapkan dengan publik yang semakin kritis sekarang ini, bisa dipastikan strategi ini akan menemui kegagalan. Jika dilihat dari tren-nya mayoritas publik sekarang akan mudah menerima hal-hal yang disampaikan dengan simpatik dan penuh ajakan atau persuasif, serta materi ajakan yang sesuai dengan tingkat pemikiran publik/obyek tersebut. Jika ajakan yang dipaksakan dan tidak sesuai dengan tingkat pemikiran obyek, maka bisa dipastikan hal tersebut tidak akan optimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun