Mohon tunggu...
Dedi Maing
Dedi Maing Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Pelajar/Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Karena Menjadi Guru Adalah Sebuah Panggilan

2 Mei 2017   11:55 Diperbarui: 3 Mei 2017   09:43 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pada 1 Agustus 1987, bapa menamatkan pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Swastika Lewoleba, NTT. Beliau langsung mengajar di Sekolah Dasar Katolik (SDK) Lewoeleng sebagai guru honorer  dan menerima honorarium sebesar Rp. 2.500,- per bulan. Namun ia menuturkan bahwa selama satu setengah tahun mengajar ia dan  rekan guru honorer termasuk mama pernah tidak digaji beberapa bulan. Honorarium mereka tidak menentu sebab sekolah tersebut merupakan sekolah swasta sehingga pemberian gaji menjadi tanggung jawab tunggal komite sekolah. Pada tahun 1989 bapa mengajar di SDK Atanila. Bapa harus tinggal di sana karena pada waktu itu tidak ada jalan umum yang menghubungi kedua desa, kecuali jalan setapak yang dilalui para petani. Namun tidak mengajar lama beliau pun berpindah mengajar di SMP Sinar Pelita Ledoblolong mulai dari tahun 1989-1997.   

Setelah mengajar di SMP Sinar Pelita, bapa memutuskan untuk berwiraswasta. Sedangkan mama lebih dahulu berhenti mengajar. Namun entah mengapa, pada tahun 1995 ia kemali mengajar sebagai guru honor di SDK Lewoeleng. Bapa membuka sebuah kios kecil untuk menjual sembako dan pengepul kemiri. Ia membeli kemiri masyarakat setempat dan menjualnya kembali di kota Lewoleba. Namun usahanya ini tidak bertahan lama. Sejak beliau menjadi anggota Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (Yaspensel), usaha ini dikelola oleh kakaknya dan bangkrut.

Pada tahun 2000-2005, bapa menjadi anggota Yaspensel dan bekerja mendampingi kelompok tani berkelanjutan di wilayah Leragere, Kab. Lembata. Berdasarkan kinerja beliau diangkat menjadi guru kontrak melalui Surat Keputusan (SK) Bupati dan menerima penempatan di SDK Lewoeleng.

Pada tahun 2005 mama mengikuti seleksi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan dinyatakan lulus. Setahun kemudian bapa pun sama. Setelah menjadi PNS maka mereka harus bersedia ditempatkan di mana pun. Mama mendapatkan penempatan di SD Negeri Tapolangun, dan bapa tetap bertahan di SDK Lewoeleng. Karena Jarak yang cukup jauh dan jalan yang belum baik maka mama beserta ke empat adik harus pindah dan tinggal di Desa Tapolangun. Sedangkan bapa, nenek dan saya tetap tinggal di Lewoeleng .

Selang beberapa tahun kemudian mama mendapat SK penempatan di SD Inpres Tapobaran dan bapa di SD Negeri Tapolangun. Desa tapolangun dan tapobaran berada di daerah pesisir, kecamatan Lebatukan. Jarak kedua desa 2,8 Km, sehingga orang tua memutuskan membangun rumah keluarga permanen dan menetap di desa tapobaran. Pagi-pagi bapa harus berangkat dengan mengendarai motor kira-kira butuh waktu 7  menit ke sekolah.

Namun ada sebuah tradisi di kampung, sekolah harus membangun mes guru. Melalui komite sekolah, orang tua wali bekerja sama membangun secara swadaya. Rumah itu ditempati guru selama mengajar di sekolah tesebut. Ketika pindah maka ia pun harus meninggalkan mes tersebut dan siap untuk dihuni guru baru yang ingin tinggal di desa itu. Rumah itu sangat sederhana; berdinding bambu, berlantai tanah dan beratap seng. Selain mes guru, ada juga rumah warga yang dapat ditempati guru baru.

Setelah membangun rumah, tepat pada tahun 2013 berdasarkan SK penempatan baru maka bapa dan mama harus pindah mengajar di SDK Lewoeleng. Kami agak kesal karena dapat dibilang mutasi guru berubah begitu cepat (jangan-jangan ada konspirasi). Namun kami mesti bersyukur bahwa kali ini, mama dan bapa masih mengajar di sekolah yang sama. Mengabdi di kampung halaman.

Orang tua dan kedua adik bungsu kembali tinggal di Lewoeleng. Saya dan kedua adik harus bermigrasi desa-kota karena pendidikan lanjut. Sedangkan nenek sendiri di tapobaran menjaga rumah, juga ternak peliharaan.

Nenek berkata kepada bapa bahwa ia tinggal sendirian seperti tak melahirkan seorang pun. Ia tidak kuat mengurus rumah yang besar dan ternak seperti sapi. Mengurus diri sendiri saja ia sering lupa. (Bapa hanya diam mendengarnya). Ia melanjutkan, tolong mintalah sama Sekretrais Daerah (sekda) agar bisa pindah ke tapobaran. Rupannya nenek mengajak bapa untuk bernepotime, sebab sekda adalah keluarga.

Kalau mama mau seperti itu, mama ke kota dan sampaikan langsung kepada sekda. Mama harus bersyukur kami pindah tidak terlalu jauh dan intinya kita kembali mengabdi di lewo tanah (kampung halaman). Bagaimana kalau mereka “tendang” kami ke tempat yang lebih jauh? Jawab bapa. (Nenek terdiam) Mungkin ia ingat akan anak sulungnya,  juga berprofesi sebagai guru  lalu meninggal bersama istri dan kedua anaknya akibat tsunami waiteba pada tahun 1979.

Resiko lain dari mutasi orang tua adalah sekolah kami anak-anak. Untuk menamatkan pendidikan SD, keempat adik saya pernah belajar di dua sekolah berbeda tergantung SK penempatan orang tua, khususnya mama. Tapi itu sudah terbiasa dan menyenangkan juga karena ada banyak kenalan serta pengalaman baru. Namun ada juga warga yang menyangka kalau anak bapa dan mama hanya empat orang kecuali saya. Maklum sejak tamat SD saya berkesempatan besama keluarga hanya saat liburan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun