Mohon tunggu...
Dedi Irawan
Dedi Irawan Mohon Tunggu... Penulis - The Pessimistic Man

Seorang lelaki pesimis yang bercerita tentang kehidupannya | Find me on Instagram @wilfrededida

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengapa Gen Z Mudah Stres?

16 Desember 2023   12:00 Diperbarui: 22 April 2024   22:47 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Doc: Pribadi/Contoh Muka Gen Z Stres

Mengapa gen z terus menerus dituduh sebagai generasi lemah dan mudah stres? Rata-rata yang menuduh adalah generasi di atasnya. Namun kadang kali, tuduhan tersebut tanpa dilandasi riset lapangan terlebih dahulu. Riset lapangan cukup penting, guna memperkuat tuduhan tersebut.

Baru saja, kita mendengar ada mahasiswa Universitas Brawijaya Malang, melakukan bunuh diri. Banyak sekali kasus mahasiswa bunuh diri. Data dari Kompas, menunjukkan bahwa kelompok rentan bunuh diri berumur kisaran 18-25 tahun. Data secara menyeluruh, ditemukan sudah lebih 900 kasus bunuh diri per 2023.

Mengapa sedemikian banyaknya?

Saya ingatkan, gen z ditekan dari 2 dunia yang berbeda yaitu dunia nyata (real), dan dunia tidak nyata (maya). Inilah mengapa gen z mengalami tekanan besar untuk memenuhi tanggung jawabnya.

Pertama, dunia nyata (real). Gen z mengalami kecelakaan demografi (saya tidak menyebutnya bonus), karena ada jutaan anak seumurnya yang ikut bersaing untuk mendapatkan kerja di bumi pertiwi ini, termasuk saya. Sehingga apa yang direncakan sebelumnya, mengalami kegagalan yang berulang. Kadang kala, kegagalan tersebut menekannya untuk bangkit sendirian, tanpa bantuan orang lain.

Saya anak pertama, terlahir bukan dari keluarga yang kaya. Saya sejak awal kuliah tahun 2018, hidup mandiri. Larangan untuk berkuliah pun sempat muncul sebab dituntut untuk langsung bekerja. Namun pada akhirnya, saya dapat berkuliah dengan beasiswa hingga 2023 ini. Saya belajar tidak bisa fokus, karena harus mikir bagaimana bisa mengirim uang ke orang tua. Memikirkan kebutuhan pokok mereka, apa lagi, kadang ada kebutuhan lain yang mereka butuhkan (biasanya tiba-tiba minta).

Kondisi tersebut membuat saya tidak bisa maksimal dalam belajar. Hingga saat ini, saya masih belum bekerja. Tapi sering kali saya dimintai uang, dan sambil kerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Saya melihat teman-teman saya yang terlahir dari keluarga kaya, mengapa kuliahnya main-main? Menyedihkan sekali.

Terlebih lagi, saya memiliki Ibu dan adik perempuan, yang mana sifatnya yang mood'an dan sering kali mengeluh tanpa batas itu, membuat saya tambah pusing jika di rumah. Rumah bagaikan penjara, bukan bagaikan rumah. Ditambah, saya memiliki sedikit sekali teman. Saya jarang bergaul, dikarenakan saya tidak punya uang untuk nongkrong atau bersosialisasi dengan teman-teman lainnya. Ditambah hinaan dari masyarakat sekitar dan keluarga besar; bahwa keluarga saya merupakan keluarga miskin dan lain sebagainya.

Tuntutan sosial lagi-lagi, melarang pria untuk bercerita, mengeluh, dan menangis!

Banyak anak seumuran saya, yang terus menerus dituntut tanpa diberikan solusi. Otaknya bagaikan mesin yang setiap harinya berfikir, gimana cara membahagiakan orang tuanya, gimana agar lulus kuliah, gimana agar dapat bekerja, dan lain sebagainya. Anak pertama laki-laki seperti saya, jarang sekali sempat untuk mengurus diri saya sendiri. Saya bukan orang yang konsumtif, bahkan saya tidak pernah healing dalam hidup saya karena keterbatasan ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun