Saya mengenal Kautsar Azhari Noer ketika berkuliah di Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kautsar dikenal dikalangan mahasiswa sebagai dosen yang objektif dalam memberi penilaian pada beberapa mata kuliahnya. Saya merasakannya sendiri, dan saya hormat dengan dosen yang seperti itu.
Secara sederhana memahami objektivisme Kautsar, "ia memberikan nilai sesuai kemampuan akademik mahasiswanya, persenan nilai terbesar terdapat pada ujian akhir atau dikenal dengan sebutan Ujian Akhir Semester (UAS)". Saat itu, kelas kami Studi Agama-Agama angkatan 2018 banyak sekali yang nilainya dibawah C, alias tidak lulus.
Saya ingat sekali, bahwa satu kelas tersebut hanya tiga orang yang mendapatkan nilai A. Saya termasuk dari tiga orang tersebut. Teman-teman saya melakukan konfirmasi ke beliau. Kautsar merespon dengan sabar dan penuh ketelitian. Ia mencoba membuka lagi file-file ujian teman-teman, kemudian memberikan catatan mengapa nilainya jauh dibawah rata-rata.
Salah satu catatan pentingnya adalah mayoritas jawaban mahasiswa tidak berdasarkan kepada ayat al-Qur'an, hanya berpegang pada logika saja. Artinya tidak mempunyai dasar akademik atau ilmiah yang kuat, karena matakuliah saat itu adalah Komunitas Non-Muslim di al-Qur'an.
Hal menarik lainnya tentang personal Kautsar. Saya memberikan labeling "Guru" hanya kepada dua orang dosen fakultas ushuluddin, Kautsar salah satunya. Ia yang saya anggap sebagai sosok "Guru", dengan alasan mengajar secara serius, teliti dan mendidik. Jarang sekali saya temui pengajar atau dosen yang membaca tugas mahasiswa-mahasiswanya, terlebih lagi Kautsar merupakan seorang Profesor.
Kemudian secara pemikiran ia masuk pada lingkaran intelektual "Mazhab Ciputat". Sebuah Mazhab pemikiran yang mencoba membangkitkan kembali semangat intelektual pada masanya, sebab pada saat itu arus pemikiran Islam telah tergerus dengan politik praktis yang dominan. Oleh sebab itu, Kautsar dan tokoh-tokoh besar seperti Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Budhy Munawar-Rachman, Fachry Ali dan beberapa orang lainnya mencoba membuat gagasan menyegarkan mengenai Islam.
Beberapa gagasan mazhab Ciputat adalah melawan kejumudan umat Islam dalam berfikir. Mereka ingin menekankan "Islam sebagai nilai," bukan hanya "Islam sebagai simbol," yang mana gagasan ini selalu relavan hingga kini, bahwa umat Islam lupa akan nilai dan makna yang terkandung pada al-Qur'an yang mengajarkan kedamaian dan menghormati perbedaan. Umat Islam terlalu fokus pada hal-hal yang tidak bernilai; petengkaran antar umat Islam itu sendiri, intoleransi, diskriminasi kaum minoritas, yang semua hal tersebut masih ada hingga kini.
Kemudian, dalam dunia akademik, Kautsar adalah seorang Guru Besar atau Profesor Perbandingan Agama UIN Jakarta. Kautsar juga mengajar dibeberapa kampus lainnya. Sepengetahuan saya Kautsar mengajar pada program doktor di STF Driyarkara Jakarta. Lalu bagaimana wacana Kautsar dalam Studi Perbandingan Agama?
Perkembangan Studi Perbandingan Agama (PA) yang bertransformasi menjadi Studi Agama-Agama (SAA). Kontribusi Kautsar terhadap wacana studi PA cukup berpengaruh. Ia masuk pada kelompok senior yang menolak secara tegas perubahan nama dari PA ke SAA.
Perubahan nama dari Perbandingan Agama (Comparative Religion) ke Studi Agama-Agama (Religious Studies) direkomendasikan oleh kaum muda atau juniornya. Kaum muda tersebut berasal dari Yogyakarta dan Ciputat. Salah satunya yang berasal dari Ciputat yaitu Ismatu Ropi. Perdebatan persoalan tersebut, sudah tercatat di buku Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama.