Liburan tahun kemarin, seorang teman curhat kepada saya. Entah, karena menganggap saya memang dapat memberi pencerahan atau sekedar untuk melepas penat dari pada ditanggung sendiri. Maklum, saya memang sering memancing teman-teman untuk sharing. Harapannya, saya dapat memetik hikmah dari segala permasalah yang saya dengar itu.
Biasanya begitu tahu ada seorang teman yang kelihatannya sedang menghadapi masalah saya katakan padanya, “Ya kalau lagi punya masalah cerita dong. Meski nantinya saya nggak dapat ngasih solusi, tapi ‘kan paling nggak, dengan bercerita sampean bisa meletakkan sebentar beban sampean untuk kemudian sampean pikul lagi. Artinya ada waktu istirahat untuk menanggung beban masalah itu lagi.”
Dengan “rayuan” seperti itu banyak juga yang mau curhat. Diantarnya teman yang saya bicarakan di atas tadi. Dia akhirnya menceritakan kekecewaanya, “Aku kecewa banget ‘ma dia ‘tu. Setaip dia nglakuin salah dan minta maaf, bilangnya janji nggak akan ngulangi lagi. Tapi nyatanya, masih aja ngulangi lagi,” katanya dengan nada penuh emosi.
Saya hanya menanggapinya dingin. Prinsipnya, jangan memperkeruh keadaan. Biarkan saja dia luapin emosinya, asal jangan mendukung. Setelah dia selesai bercerita, saya mencoba untuk mendinginkan suasana. Saya bertanya, “Menurut sampean, apa sih yang nyebabin kecewa?”
Dengan sedikit ragu dia menjawab, “Ya banyak. Merasa dikhiyanatin, dibohongin dan lain-lainlah. Banyak pokonya ma.”
“Salah,” saya biarkan dia menerka-nerka. Setelah agak lama baru saya lanjutkan, “Nggak sepenuhnya salah sih. Cuma kurang tepat. Kalau menurut aku, yang nyebabin kecewa itu karena kita terlalu berharap. Kalua kita nggak pernah berharap kita nggak mungkin kita kecewa, iya nggak?” Saya meminta persetujuannya.
“Kita sama-sama makhluk yang lemahnggak mampu memastikan apa yang akan terjadi. Sepandai dan sekuat apapun orangnya. Jangankan untuk hal yang masih menjadi harapan, yang sudah nyata saja, yang sudah kita akui sebagai milik kita pun, kita tak kuasa,” “ceramah” saya panjang lebar.
Saya sendiri bingung, kenapa jawabannya seperti itu. Justru menanyakan penyebabnya. Yang jelas saat itu –tak tahu darimana-, dibnenak saya terbesit pikiran itu. Bisa jadi karena bingung untuk mencoba memberi solusi.
Saya tidak tahu dia benar-benar menerima semua keterangan saya atau hanya terpaksa. Karena kami tidak sedang bertatap muka. Komunikasi tadi hanya melalui telepon genggam. Yang saya tahu dia hanya diam saja tanpa banyak tanya lagi.
******
Pengalaman kecewa tentu bukan hanya dia saja. Penulis juga pernah mengalaminya sendiri. Bahkan penulis yakin semua orang pernah mendapat jatah dikewakan orang lain. Hanya saja kesadaran akan diri sendiri ini –juga orang lain-, yang lemah ketika dihadapkan dengan takdir Tuhan masih sebatas outopia belaka. Itulah alasan tulisan ini dibuat.
Namun ketika kenyataan itu terjadi, kesadaran yang semula telah tertanam di hati itu, hilang begitu saja. Saat orang lain yang berbuat salah, memang orang itulah yang salah. Namun tatkala diri sendiri sebagai pelakunya, Tuhan yang dijadikan sebagai tameng untuk menyandarkan kesalahannya. Baru mengakui kelemahan manusia pada umumnya. Tidak adil bukan?
Ya, bisa jadi. Tapi ukuran adil dan tidaknya, atau benar dan salahnya manusia sekarang banyak dituntut oleh kondisi, bukan pada pada pengetahuannya. Yang mana yang menguntungkan, itulah yang benar dan adil. Dan yang tidak menguntungkan itulah yang salah dan tidak adil.
Bahkan sampai tersebar guyonan saat seorang kiayi ditanya tentang hukum korupsi. Kiayi tersebut menunggu si penannya untuk mengatakan berapa bagiannya. Jika tidak menyinggung hal itu, jelas haram hukumnya. Lain halnya ketika dia juga diiming-imingi mendapat jatah, hukum haram yang sudah jelas dalilnya masih bisa dielak.
Tidak perlu jauh-jauh, penulis sendiri ketika dikecewakan orang alin juga masih menyalahkan orang itu. Walau kadang menyadari, mungkin itu adalah teguran Tuhan supaya kembali ke jalan-Nya. Saat sadar bahwa semua telah digariskan Tuhan hal apapun itu bisa diterima. Namun ketika logika dipenuhi luapan emosi, yang ada hanya perasaan marah dan kecewa.
Bagaimana pun bentuknya jika didasari cara pandang bersama –dari berbagai arah-, secara logika masih bisa diterima. Yang ironis tentunya jika semua disandarkan pada diri sediri. Cara pandang yang menguntungkan diri sendiri. Bukankah hal itu sifat anak kecil, arogan.
Yang masih memerlukan renungan bersama ialah; benarkah (dan barokahkah) ilmu yang sifatnya hanya untuk keuntungan diri sendiri dan (bahkan) mengobarkan orang lain? Dan bukankah beliau Nabi pernah bersabda, “Khoir an nâs anfa’uhum lî an nâs?” []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H