"Penghinaan itu mempermalukan orang yang mengucapkannya, bukan yang menerimanya," ujar Diogenes, filsuf Yunani Kuno. Kutipan ini menyimpan pelajaran berharga: penghinaan bukan tentang korban, melainkan cerminan buruknya pelaku. Â
Ketika seseorang menghina, ia sebenarnya menunjukkan kelemahan seperti kurangnya kontrol diri, empati, atau bahkan rasa tidak aman. Penghinaan sering kali lahir dari kebutuhan untuk merasa superior, mendominasi, atau sekadar melampiaskan emosi. Bukannya merendahkan orang lain, tindakan ini justru mengungkap sisi gelap kepribadiannya. Â
Sebagai penerima penghinaan, kita memiliki pilihan: bereaksi dengan kemarahan, atau tetap tenang dan bijak. Membalas hanya memperburuk situasi, sementara sikap tenang menunjukkan kedewasaan. Respon bijak, seperti menegaskan pendirian tanpa emosi berlebih, justru mengangkat martabat kita. Â
Di era media sosial, penghinaan semakin sering terjadi, bahkan anonim. Komentar negatif mencerminkan pelaku, bukan targetnya. Jangan biarkan hal ini memengaruhi kebahagiaan Anda. Fokuslah pada hal positif dan ingat, penghinaan adalah cermin bagi pengucapnya, bukan Anda. Â
Kasus baru-baru ini, di mana seorang tokoh publik menghina seorang pedagang es teh di media sosial, menjadi contoh nyata. Alih-alih mencerminkan kekuatan, tindakan itu malah menonjolkan kurangnya empati dan rasa hormat terhadap orang lain. Publik pun bereaksi dengan mengecam, membuktikan bahwa penghinaan lebih sering mempermalukan pelaku ketimbang korbannya. Â
Seperti pesan Diogenes, biarkan penghinaan berlalu. Pilih untuk tetap bermartabat, sebab penghinaan hanya menjatuhkan pelakunya, bukan Anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H