Setahap lagi perhelatan Piala Dunia 2022 akan usai, tinggal menunggu siapa yang akan jadi jawara sepakbola sejagat kali ini, Argentina ataukah Perancis? Siapapun yang menjadi pemenangnya, hanya akan menjadi euphoria sesaat bagi para supporter yang mendukungnya. Sesudah itu, para penggila sepakbola akan beralih kembali ke pesta-pesta kejuaraan berikutnya.
Siklus tersebut sudah jadi kebiasaan yang terjadi secara temporal. Hanya sebentar membekas, untuk selanjutnya memudar terimbas perhelatan-perhelatan laga yang selalu terus digulirkan. Hal itu tampaknya seperti peristiwa-peristiwa biasa saja, namun tidak bagi para perempuan yang ada di kehidupan rumah tangga di Inggris. Kekalahan tim Inggris dalam setiap event olahraga, merupakan sebuah bencana. Ketegangan yang terjadi di lapangan berimbas pada ketegangan pada kehidupan rumah tangga masyarakat Inggris yang para prianya banyak menggilai olahraga ini.
Menurut editor masalah pemberdayaan wanita situs Glamour.com, Lucy Morgan, pada 26 Oktober 2022, Home Office and Women's Aid, telah melakukan kampanye untuk meningkatkan kesadaran akan sering terjadinya pelecehan terhadap wanita di Inggris dan Wales yang terkait dengan sepak bola. Salah satu gagasan yang dicuatkannya adalah dengan cara mempromosikan anjuran untuk bertanggung jawab mengakhiri segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan yang dilakukan para pria pada anggota keluarganya sendiri.
Menurut Lucy, seebenarnya sepak bola itu sendiri tidak menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga seperti yang dipergunjingkan selama ini. Menonton sepak bola tidak menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga. Misalnya, selama ini tidak ada data yang menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga meningkat ketika Lionesses meraih kemenangan selama liga musim panas berlangsung. Lantas, kenapa ada asumsi bahwa menonton pertandingan sepakbola itu berpotensi memicu peningkatan kekerasan dalam rumah tangga? Itulah yang perlu diluruskan. Titik utamanya yaitu masalah kekerasannya.Â
Di sini, terlepas dari olahraga apa yang mereka pilih, setiap pria harus bertanggungjawab terhadap kekerasan yang dilakukan pada pasangannya. Walaupun pada kenyataannya tuntutan ini seperti membentur sebuah tabir yang sulit dipecahkan. Karena budaya pelampiasan amarah kekalahan sepakbola terhadap wanita dalam rumah tangga tampaknya masih sering terjadi dan ini memerlukan penyelidikan lebih lanjut untuk mengetahui motif penyebabnya.
Statistik yang menunjukan kekerasan dalam rumah tangga itu meningkat hingga sebesar 38% dibandingkan hasil survey yang dilakukan tahun 2014 yang persentasenya relatif kecil, yaitu ketika Inggris kalah di tiga turnamen Piala Dunia. Jadi kasus kekerasan dalam rumah tangga yang sering dianggap sebagai "kejahatan tersembunyi," berdasarkan statistik tersebut, mungkin itu hanyalah puncak gunung es dari insiden kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi selama perhelatan turnamen-turnamen sepak bola besar berlangsung.
Menurut survei Asosiasi Pendukung Sepak Bola (Football Supporters' Association), diperkirakan juga bahwa satu dari lima wanita mengalami perhatian fisik yang tidak diinginkan selama pertandingan sepak bola berlangsung. Survei yang sama juga menemukan bahwa 24% wanita di pertandingan sepak bola pria dilaporkan mereka mendengar nyanyian-nyanyian berbau seksual dikumandangkan selama pertandingan berlangsung, 44% telah diberi tahu bahwa mereka tahu banyak tentang sepak bola "untuk perempuan," serta 26% diberitahu bahwa mereka hanya menyukai sepak bola karena mereka menyukai para pemainnya.
"Budaya yang mengolok-olok perempuan pasti akan menumbuhkan lingkungan yang membahayakan mereka. Jika Anda memiliki budaya di mana hal-hal merendahkan yang seharusnya disingkirkan ternyata diterima, itu akan membuat biasa atau memuluskan jalan setiap yang lebih serius, menjadi tidak dianggap serius." Demikian kata Laura Bates, pendiri Everyday Sexism, kepada Financial Times mengenai kebiasaan olok-olok di tempat kerja.
"Memang, yel-yel dan sejenisnya bisa dianggap "olok-olok," tapi budaya yang mengolok-olok perempuan pasti akan menumbuhkan lingkungan yang membahayakan mereka," ujarnya pula.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga di Inggris Raya, berdasarkan catatan statistik terbaru dari Kantor Statistik Nasional (Office for National Statistics), ternyata sudah lama mendekati titik krisis. Dimana jumlah kejahatan berupa kekerasan dalam rumah tangga selama tahun 2020 - 2021 yang dicatat pihak kepolisian di Inggris dan Wales, meningkat sebesar 6%, dan orang-orang yang mengakses Saluran Bantuan Penyalahgunaan Domestik Nasional (National Domestic Abuse Helpline), jumlahnya meningkat menjadi 22%. Sebuah tragedi kehidupan yang harus segera ditemukan akar penyebabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H