Mohon tunggu...
dedi s. asikin
dedi s. asikin Mohon Tunggu... Editor - hobi menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sejak usia muda

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Kekerasan yang Saya Alami, Gebrak Pistol dan Isu PKI

25 Juni 2021   06:59 Diperbarui: 25 Juni 2021   07:02 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pantasnya saya berucap syukur tidak ditakdirkan mati dibunuh seperti teman yang tersungkur diujung senjata karena kebencian orang.

Hari-hari ini saya membayangkan betapa ngerinya petaka yang dialami teman-teman satu profesi yang ngemasi pati karena benci. Kerena Press hatters.

Saya bayangkan Fuad M Safrudin alias Udin wartawan Bernas Yogyakarta yang tersungkur diujung senjata dendam tanggal 16 Agustus 1996. Atau Meratua Siregar wartawan Pindo Merdeka Medan yang tewas di Labuanbatu 31 Oktober 2019.  Terbayang juga Diemas Laira wartawan TV Lokal di Mamuju Sulbar. Dia dibunuh orang tanggal 20 Agustus 2020. Dan yang terahir Marshal Harahap.

Pemimpin Redaksi Koran online di Medan itu tewas bersimbah darah di dalam mobilnya dengan beberapa luka tembak  tanggal 19 Juni 2021.

Mereka itu sebagian dari 13 orang wartawan Indonesia yang tercatat mati karena dibunuh. Saya ulangi, dibunuh bukan terbunuh. Angka 13 itu yang tercatat sejak 1996 sampai 2021. Tidak ada catatan mereka yang mengalami petaka sebelum itu. Tapi diyakini pasti adanya. Misalnya tahun 1980 tercatat seorang wartawan dari Medan mati meranggas setelah tubuhnya disiram air keras.

Sesungguhnya kami para pekerja jurnalistik menyadari resiko profesi itu. Ada Press phobia yaitu kelompok orang yang takut kepada wartawan. Ada juga yang Presshatter yaitu orang orang yang benci atau dendam kepada wartawan karena ulah buruknya diungkap di ruang publik. Mereka itulah yang menganggap nyawa kami begitu murah.

Dor ditembak atau "cross" ditusuk gampang saja. 

Prihatinnya, banyak pelaku pembunuhan yang tidak terungkap. Wajar jika teman-teman wartawan di Medan menyatakan tidak percaya lagi pada kerja polisi.

Di bawah ini adalah pengalaman saya sebagai wartawan menerima KKW, Kekerasan Kepada  Wartawan. 

Tahun 1975 ketika saya baru sekitar 2 tahun bertugas di Priangan Timur dengan kedudukan di Tasikmalaya, pengalaman pahit itu terjadi. Suatu pagi segerombolan tentara membawa paksa saya ke markas Brigif 13 Galuh. Waktu markasnya masih di perempatan jalan Yudanagara  dan Gunung Sabeulah. Begitu tiba, dengan kasar saya didorong  masuk ke sebuah kamar. Ternyata  itu kamar kerja kepala staf brigif Letkol Patikawa.

Dengan mata mlotot dia langsung menggertak saya.Seraya mencabut pistol dipinggangnya dan "brak" dilempar diatas meja persis diujung mata saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun