Sangat mungkin ini merupakan peraturan perundangan yang paling singkat masa berlakunya. Hanya satu hari saja. Itulah Surat Telegram Kapolri No .750/IV/HUM 3.4.5/2021 yang  ditanda tangani Kadiv Humas Polri Irjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono
Inti konten ST itu, pelarangan media memberitakan arogansi dan kekerasan polisi dalam melakukan pemeriksaan atau penyidikan. Seluruhnya  ada  11 konten. Secara umum mengisyaratkan adanya upaya menghalangi kebebasan media/pers. Sehari kemudian pasca ST itu dikirim kepada para Kapolda dan Kabid Humas Polda, Kapolri menyatakan ST itu dicabut. Kenapa gerangan ? Menurut Kepala Penerangan Masyarakat Brigjen Rudi Hartono, ternyata  ST itu telah mengundang berbagai tanggapan dan reaksi masyarakat.
Hanya dalam waktu 6 jam pasca penerbitan,  reaksi berbau penolakan muncul dari berabgai pihak. Dewan Pers menganggap ST itu salah arah. Kalau mau tidak ada pemberitaan arogansi dan kekerasan polisi dalam pemeriksaan dan penyidikan, ya  janganlah polisi melakukan itu. Jadi kata Moh. Nuh, media tidak akan memberitakan masalah itu.
Komisioner Komnas ham mengingatkan ST itu berpeluang terjadinya pelanggaran HAM jika polisi melaksanakan konten ST itu. Choirul  Anam meminta ST itu dicabut. Komisi Kepolisian Nasional, Kompolnas merasa jengkel dan minta segera dicabut.
Kata Komisioner Kompolnas Pungki Indarti, ST Kapolri tanggal 5 April  2021 itu dapat membatasi ruang gerak  dan kebebasan Pers/media dan nabrak dua Undang Undang yang berada diatasnya yaitu UU 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.  Badan Publik mempunyai  kewajiban menyampaikan informasi tanpa diminta atau informasi yang diminta kepada publik. Kepolisian mulai dari Markas  Besar, Polda sampai Polres adalah Badan Publik yang terikat secara hukum oleh Undang-Undang itu.
Polri juga terikat oleh kebebasan Pers yang diatur dalam UU 40 tahun 1999. Ada ancaman hukuman 2 tahun dan denda Rp.500,-juta bagi siapa saja yang sengaja menghalangi pelaksanaan kebebasan Pers.
Kapolri tidak memiliki kapasitas untuk melarang media/Pers memberitakan arogansi dan kekerasan polisi sepanjang hal demikian benar-bener terjadi. Seharusnya Ka Polri melarang polisi melakukan arogansi dan kekerasan, Â supaya tidak ada pemberitaan.
Saya jadi teringat pada beberapa perdebatan yang sempat terjadi antara saya dan sejumlah pihak masyarakat. Jujur, kadang saya tersinggung ketika ada yang menyebut wartawan itu tukang cari kesalahan orang.
Dengan nada agar ngegas saya katakan kalau mau wartawan tak mencari dan menemukan kesalahan, ya jangan buat kesalahan. Rasanya ini rada-rada analogis.
Peraturan perundangan itu tidak boleh dirubah atau dibuat peraturan lain  yang bertentangan dengan peraturan yang berada di atasnya.
Dalam hal ini ST itu ibarat cucu atau mungkin cicit dari kedua  UU yang disebut di atas. Jadi ST itu tidak  memiliki kekuatan hukum apapun.