Sesungguhnya kabar tentang impor garam ini bukan kabar baru. Itu sudah lama terdengar. Gak aneh lagi. Gak mengejutkan lagi. Tiap tahun kita  tak pernah absen membeli barang itu dari negeri orang. Biasanya dari Australia (72 %) dan India (28%).
Cuma saja lama-lama rasanya tambah prihatin. Ada ironisme ada ketidak patutan di situ. Â Lalu rasa sedih menonjok ulu ati.
Kok negara bahari, negeri maritim yang "saendeng endeng" negeri ini dikepung lautan, Â garam saja harus cari di negeri orang ?
Katanya luas laut kita ada 4,7 juta km2, terluas di dunia.  Panjang pantai kita 95,13 juta km, terpanjang  di dunia. Setiap menit ombak laut mencium bibir pantai dan membawa larutan asin,  tapi mau masak saja bingung tiada garam?
Pertanyaan ini lama lama membuat jengkel. Â Membuat sesek di dada. Ternyata bukan hanya rakyat biasa yang grundel itu. Konon presiden Joko Widodo juga pernah "murka" dibuatnya. Pada sebuah "ratas" bidang ekonomi setahun lalu, Jokowi melontarkan kemarahannya pada soal yang satu ini. Menurut beliau, kita ini sudah tahu kendalanya sudah hapal masalahnya, kok ga pernah dicari solusinya. Kok ga ada way outnya. Ibarat penyakit udah tahu apaya yang sakit, kok ga dibeli obatnya.
Logika enteng saja kalau harus impor ya produksi dalam negeri kurang. Kenapa kurang, padahal bahan baku melimpah ruah?
Ternyata jawabannya tidak simpel. Produksi kurang iya. Tapi selain itu kualitas produk garam kita tidak memenuhi standar untuk keperluan industri. Â Katanya kadar Natrium Cloridanya (NaCl) rendah. Dibawah 97 %. Sementara syarat kadar NaCl untuk Industri sesuai Coved FAO minimal 97,3 %. Bahkan untuk industri farmasi harus berkadar 99 %.
Untuk dimaklumi garam itu selain diperlukan sebagai konsumsi juga dibutuhkan sebagai bahan baku  industri seperti farmasi, kimia, perminyakan, perikanan, aneka makanan dan lain-lain.
Rendahnya kuantitas dan kualitas produksi menurut Deputy Bidang Komunikasi Sumber daya Maritim Komenko Maritim dan Investasi, Syafei Burhanudin, karena garam kita masih diproduksi secara tradisional. Petambak  garam bersifat perorangan  dengan pemilikan lahan antara 0,5 sampai 5 ha. Lahan itu berserakan, tidak terintegrasi. Air laut disalurkan ke tambak melalui parit kecil. Jika tersumbat kadar garamnya sudah berkurang ketika sampai di tambak.  Pengendapannya tergantung cuaca. Jika hujan  atau kurang panas matahari terjadi kemorosotan kualitas dan juga kuantitas produksi. Kuantitas produksi perhektar baru mencapai 60 ton.  Bandingkan dengan Australia, katanya sudah mencapai 350 ton per hektar. Rendahnya tingkat produksi itu tentu berpengaruh kepada tingginya biaya produksi.  Menurut Ketua Koperasi Garam Kabupaten Karawang, Aep Suhardi, biaya produksi kita berkisar antara Rp.400 sampai Rp.500/kg. Oleh karena itu, kata Aep, harga jual petambak enaknya di atas Rp.700. Bandingkan pula dengan Australia. Petambak di sana bisa melepas dengan harga Rp.200.
Ada beberapa kendala produksi kita. Hal lain yang menjadi kendala adalah jauhnya jarak antara lokasi petambak dengan pabrik pengolahan awal yang disebut washing plant. Biaya tranport nya cukup tinggi. Di tempat itu garam dibersihkan dari kotoran sehingga menjadi putih dan berkadar NaCl. Itu mutlak harus dilakukan, agar bisa diserap sektor industri.
Selain itu jumlah petambak juga setiap tahun berkurang. Mereka banyak berhenti dan beralih profesi menjadi buruh di kota. Â Sekarang ini jumlah petambak hanya tinggal 19.503 orang. Luas lahan yang dikuasai ada 22.592 ha lahan milik rakyat dan 4.455 ha milik PT Garam.