Tak terasa akhirnya sampai di pintu tol Colomadu/Kartasura setelah istrirahat dua kali di rest area (di km 538 dan 626). Jam menunjukan pukul 04.19 WIB dan km di mobil menunjukan angka 33.022. Artinya sejak dari pintu tol Warugunung di Sidoarjo (km di mobil menunjukan angka 32.771) hingga ke pintu tol Colomadu di Kartasura jaraknya sekitar 251 km, dan menghabiskan waktu sekitar 3 jam 15 menit.Â
Jika dikurangi dengan jumlah menit berhenti di dua kali rest area, bisa jadi jarak tempuh antara kedua pintu tol tersebut menghabiskan waktu di bawah atau kurang dari 3 jam. Bahkan bagi para driver yang juga merangkap pebalap, bisa-bisa jarak segitu sudah diselesaikan dalam kisaran waktu dua jam lebih sedikit saja, atau malah kurang. Itu sangat mungkin misalnya dengan kecepatan rata-rata 130 km/jam. Dan telah dibuktikan oleh teman tenis saya di Surabaya, yang sudah berumur sekitar 60-an tahun. Hebatkan Beliau...?
Luar biasa manfaat tol dari sisi efisiensi waktu. Ini bisa terjadi karena selama di jalan tol kita tidak bertemu pertama, dengan sepeda motor yang sering berjalan sesukanya : di tengah, tidak pakai helm, bonceng tiga, melawan arus, belok tanpa ada aba-aba lampu sign, menyalip dari kiri/kanan dan tiba-tiba berhenti dsb.Â
Kedua, kita tidak ketemu becak yang jalannya pelan sekali meski sudah digenjotnya sekuat tenaga oleh tukang becaknya, dan tidak melihat betis abang becak yang tegang dan mengeras karena mengayuh becaknya yang sarat dengan penumpang atau barang bawaannya.Â
Ketiga, kita tidak ketemu dengan angkutaan perkotaan (angkot) maupun angkutan pedesaan (angdes) yang jalannya pelan, berhenti mendadak untuk menaikan/menurunkan penumpang seenaknya, dan bahkan kadang posisinya masih di tengah jalan yang membuat kita tidak bisa mendahuluinya dsb.
Keempat, kita tidak ketemu bus AKAP/AKAD (umumnya bus kelas Ekonomi/Patas) yang ugal-ugalan mengejar setoran/penumpang. Sering dari arah berlawanan bus tersebut mendahului kenderaan lain tanpa kira-kira, yang membuat kita harus turun dari jalan aspal ke bahu jalan yang masih berupa tanah meski kita berada dijalur yang benar (jalur kiri), dan berhenti.Â
Sopir bus tersebut sudah tidak peduli dengan kenderaan kecil/pribadi/sepeda motor yang ada di depannya. Tidak peduli garis putih tanpa putus yang telah membelah jalan menjadi dua jalur. Kalau sudah posisinya di kanan untuk menyalip meski kita sudah ada di jalur kiri, pantang buat mereka untuk surut dan membatalkan niatnya untuk tidak jadi mendahului. Para sopir tersebut berasumsi bahwa semua kenderaan yang ada di depannya pasti akan dan harus mengalah ; turun ke bahu jalan dan berhenti, dan lalu sang sopir menginjak gas sekuat-kuatnya untuk menyalip lawannya agar bisa dapat penumpang baru lagi di depan.
Asumsi driver bus tersebut akan menjadi sangat benar karena kita tentu tidak mau mati konyol ketika berhadapan langsung dengan bus besar yang ngaco tersebut. Dan akan muncul dengan sendirinya reflek serta feeling so good untuk menghindari kemungkinan terjadinya kecelakaan yang berakibat fatal terhadap kita, keluarga/penumpang dan mobil. Â Apa kita dalam situasi dan kondisi yang demikian akan tetap mempertahankan ego dan hak kita karena kita sudah di jalur yang paling betul, tentu tidak. Naluri kita sebagai manusia akan membawa kita untuk menghindari akibat buruk yang mungkin akan terjadi.Â
Para sopir bus itu hanya takut sama truk, dan kalau bertemu saat menyalip di jalur kanan, langsung belok dan ambil jalur kiri tanpa memperhatikan ada atau tidak mobil di jalur kiri. Yang penting kepala keneknya sudah keluar sambil mengayunkan tangan kirinya dan teriak-teriak atau mengeluarkan suara suit-suit-suit dari mulut yang dibantu dengan jari tangan kanannya. Maksudnya minta jalan agar mobil yang di kiri/disalip memberikan jalan/ruang untuk busnya masuk ke jalur kiri.
Kelima, kita juga tidak ketemu truk-truk triler, tronton, gandeng dengan muatan mungkin melebihi tonase yang jalannya pelan terseok-seok (kecepatannya paling tinggi 20 km/jam) di tengah. Mau didahului melalui jalur yang betul di kanan tidak bisa karena posisinya sudah di tengah dan banyak kenderaan dari arah berlawanan. Mau di salip dari kiri, jalurnya sempit, ada sepeda motor dan pejalan kaki, becak, angkot yang jalannya pelan, kenderaan parkir dsb. Selain itu juga dibatasi garis putih yang tidak putus-putus.
Keenam, hampir di sepanjang rute Surabaya hingga Solo meski statusnya jalan nasional, lebar jalannya hanya sekitar 6-8 meter, dibagi menjadi dua, satu jalur kiri dan jalur sebaliknya satu jalur kanan. Sementara untuk jalur Solo-Jogjakarta sudah lumayan dengan lebar jalan sekitar 10-12 meter dengan dua jalur kiri, dan dua jalur sebaliknya di kanan. Plus, pembatas/pemisah (separator) yang sudah permanen di tengah-tengah. Dan tingkat safety-nya jalan-jalan tersebut mengharuskan kita pengendara harus lebih hati-hati dan harus selalu waspada. Artinya safety-nya tidak sebaik di jalan tol.