Secara harfiah autisme berasal dari kata autos (diri) dan isme (paham/aliran). Autis merupakan anak yang terhambat dengan bidang sosialisasi, imajinasi dan komunikasi. Mengutip dari American Psych “Autisme adalah ganguan perkembangan yang terjadi pada anak yang mengalami kondisi menutup diri. Gangguan ini mengakibatkan anak mengalami keterbatasan dari segi komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku.”
Mengidentifikasi siswa autis
Sebagai guru yang tugasnya mengajar siswa di sekolah, tentunya harus mengetahui karakter dari setiap individu siswa. Dengan mengetahui karakter dari setiap siswa akan mempermudah menemukan anak yang tergolong autis. Adapun ciri siswa autis dapat dilihat dari keadaan emosi, yaitu: sering marah tanpa alasan yang jelas, sering mengamuk apabila keinginan tidak terpenuhi, tiba-tiba tertawa atau menangis sendiri, dan terkadang secara tidak terduga menyerang orang lain.
Selain itu, ciri siswa autis dapat juga dilihat dari cara berkomunikasi dengan orang lain. Komunikasi yang dilakukan oleh siswa autis, misalnya: cara berbicara lambat, monoton, atau tidak berbicara sama sekali; terkadang mengeluarkan suara aneh; cara bicaranya tidak jelas sehingga sukar dipahami oleh orang lain; dan terkadang komunikasi dilakukan dengan cara menarik-narik tangan orang lain untuk menyampaikan keinginannya.
Penyebab autis
Menurut Teori Psikososial, autisme dianggap sebagai akibat hubungan yang dingin, tidak akrab antara orang tua (ibu) dan anak. Demikian juga dikatakan, orang tua/pengasuh yang emosional, kaku, obsesif, tidak hangat bahkan dingin dapat menyebabkan anak asuhnya menjadi autistik.
Perkembangan tekhnologi semakin canggih. Terdapatnya jejaring sosial dan game online yang dapat diakses oleh siapapun. Jika digunakan secara berlebihan tanpa beraturan akan berdampak negatif terhadap perkembangan siswa, termasuk menjadikan siswa menjadi autis. Penggunaan tekhnologi modern secara berlebihan, tanpa adanya kontrol dari orang tua menyebabkan anak lupa waktu. Jika hal ini terjadi dalam durasi lama dan dilakukan secara berkelanjutan. Lama kelamaan akan terbentuk jiwa autis pada anak. Ia enggan bergaul dan sosialisasi dengan teman lain seusianya, karena asyik menjelajahi dunia maya.
Ada pula penyebab lain, selain yang diungkapkan di atas. Hal ini berdasarkan pengakuan dari salah satu orang tua. Ia mengaku jika kelainan yang terjadi pada anaknya merupakan kesalahan yang dilakukan pada saat mengandung. Kebiasaan memakan makanan yang instan dan siap saji tanpa memerdulikan zat gizi yang terkandung dalam makanan tersebut. Hal ini dimungkinkan karena zat kimia yang terkandung di dalamnya telah merusak dan mengganggu sel sel otak janin dalam kandungan.
Terapi bermain
Bermain merupakan salah satu cara yang dapat digunakan sebagai terapi pada siswa autis. Mengapa belajar sambil bermain menjadi terapi untuk siswa autis? Ada lima alasan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, siswa dapat belajar melalui proses bermain. Kedua, permainan dijadikan sebagai perantara untuk mengikutsertakan siswa pada proses pembelajaran. Ketiga, melalui permainan siswa dapat mempelajari beberapa keterampilan penting. Keempat, permainan merupakan faktor penguat memori siswa. Kelima, permainan dapat memusatkan perhatian siswa dan mengikutsertakan ke dalam pembelajaran aktif.
Terapi bermain dilakukan untuk melatih mengajarkan anak melalui belajar sambil bermain. Dengan begitu, siswa tidak akan merasa terpaksa. Perasaannya akan senang tanpa merasa terbebani oleh keharusan mencerna dan memahami materi yang diajarkan oleh guru.Padahal sebenarnya, Ia bermain merupakan tindakan atau kegiatan untuk menerima pembelajaran. Dalam hal ini, tantangan guru adalah harus bisa menciptakan suatu bentuk permainan yang disesuaikan dengan tujuan pembelajaran. Kendati demikian, guru bisa bekerjasama dengan orang tua siswa dan komite sekolah. Agar mereka paham bahwa proses pembelajaran tidak terpaku pada buku sebagai sumber ajar. Melainkan, melalui sumber belajar lain misalnya adalah lingkungan.
Pemanfaatan lingkungan sebagai tempat belajar sambil bermain, lebih efektif dibandingkan terpaku di dalam kelas. Karena siswa akan leluasa mengeksplorasi apa yang mereka lihat. Secara perlahan-lahan siswa disuruh untuk mengkomunikasikan, dengan cara menyebutkan apa saja yang telah mereka lihat. Dengan begitu, lambat laun siswa yang tergolong autis akan terbiasa untuk berkomunikasi. Sehingga, kesulitan komunikasi yang selama ini Ia miliki akan hilang dengan sendirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H