Sebagai lulusan Sarjana, dengan gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.), tentunya menjadi guru PNS (Pegawai Negeri Sipil) adalah cita-cita. Setelah lulus, kebanyakan dari mereka mengabdikan diri menjadi guru honorer di sekolah. Honor yang mereka dapatkan berkisar 100 ribu – 300 ribu per bulan, terutama guru SD. Apakah layak sarjana pendidikan dihargai rendah?
Perjalanan menempuh gelar Sarjana Pendidikan bukan hal mudah dan murah. Seleksi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dalam menjaring mahasiswa baru melalui SPMB (Seleksi penerimaan Mahasiswa Baru), yang sekarang istilahnya menjadi SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) sangatlah ketat, apalagi peminat ke jurusan keguruan tidaklah sedikit. Dimungkinkan, banyaknya peminat imbas dari adanya sertifikasi guru. Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk kuliah tidaklah sedikit. Tidak jarang orang tua rela mengorbankan apa saja demi anaknya meraih gelar sarjana, termasuk menjual barang-barang berharga, seperti kebun dan sawah, bahkan mas kawin sekalipun. Tidak terkecuali dengan guru, rela menjaminkan SK nya di Bank, agar mendapat pinjaman.
Pengorbanan tersebut merupakan sebagian kecil dari kenyataan yang ada. Tidak sedikit dari mereka mencari biaya kuliah sendiri, dengan bekerja separuh waktu. Pagi berangkat ke kampus untuk mengikuti mata kuliah, sepulangnya lanjut bekerja. Adapula yang biaya kuliahnya ditanggung secara réréongan (bahu-membahu dari keluarga yang mampu) untuk meringankan beban biaya kuliah demi tercapainya gelar S.Pd.
Dengan besar honor kisaran 100 ribu – 300 ribu per bulan yang diberikan kepada guru honorer, apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari? Apalagi bagi mereka yang telah berumah tangga, pastinya memiliki kewajiban untuk menafkahi anak istri. Kendati demikian, mereka tetap bersabar mengabdikan diri turut serta membantu program pemerintah dalam “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dengan harapan ada perhatian khusus dan serius dari pemerintah selaku pamangku kebijakan.
Menurut penulis, rendahnya honor yang diberikan kepada para patriot pahlawan bangsa, pembentuk insan cendekia (guru honorer) bertentangan dengan UUD 1945. Karena dalam UUD 1945, pasal 27 ayat 2 tertulis “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Berbicara dengan penghidupan yang layak, lebih dominan ditafsirkan pada faktor ekonomi sebagai tolak ukurnya. Pendapatan seseorang mencerminkan layak atau tidaknya kehidupan mereka, termasuk pendapatan yang diterima oleh guru honorer, masuk dalam kriteria layak atau tidak? Kelayakan itu bisa dikaji melalui beban kerja yang diembannya. Beban kerja guru honorer sama dengan beban kerja yang diemban oleh guru PNS. Namun, honor yang mereka dapatkan secara signifikan terjadi ketimpangan, apalagi semenjak adanya sertifikasi guru.
Terobosan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengakui keberadaan guru honorer adalah melalui tunjangan fungsional (Jafung). Jafung merupakan tunjangan yang diberikan kepada guru non PNS, dengan besarnya Rp. 300.000 per bulan yang pembayarannya dicairkan setiap enam bulan sekali dan kriteria penerimaan jafung ditetapkan berdasarkan kuota masing-masing kabupaten/kota dengan syarat jumlah mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu.
Sebelum pencairan jafung, terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Dalam hal ini, Mendikbud melihat berdasarkan data dari Dapodik (Data Pokok Pendidik). Permasalahan baru pun muncul, pasalnya data yang tercantum dalam Dapodik tak luput dari manipulasi, terutama bagi sekolah yang kelebihan guru, mengapa? Salah satu faktor penyebabnya adalah sertifikasi guru. Berdasarkan aturan, guru yang telah bersertifikasi jumlah jam mengajar yang harus terpenuhi adalah 24 jam tatap muka per minggu. Jika kurang dari 24 jam, maka guru bersangkutan berkewajiban melakukan pemenuhan di sekolah lain. Oleh karena itu, yang menjadi korban adalah guru honorer, karena sebagian jumlah ngajar mereka diberikan kepada guru bersertifikasi untuk memenuhi kuotanya.
Hal ini, seperti diungkapkan oleh salah satu guru honorer yang bekerja di salah satu instansi pendidikan Kota Tasikmalaya “Jumlah mengajar dalam Dapodik hanya 4 jam, sementara hampir setiap hari mengajar di sekolah tersebut”. Lebih ironis lagi ada salah satu temannya yang mengaku biasanya suka mendapatkan jafung secara rutin, namun setelah adanya Dapodik pencairan jafung tidak lagi diterimanya.
Sarjana pendidikan berstatus sebagai guru honorer sama halnya dengan abdi Negara, bertugas untuk mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Harus mendapatkan perhatian khusus dan serius berkenaan dengan honor yang layak untuk mereka dapatkan. Minimalnya, honor yang mereka dapatkan sesuai dengan gaji UMR (Upah Minimum Regional) berdasarkan daerah tempat mereka mengabdikan diri. Dengan begitu, setiap guru honorer akan merasa bahwa keberadaan dirinya benar-benar diakui oleh pemerintah. Bukan sebatas robot belaka yang harus taat dan terus mengabdi tanpa mendapatkan penghidupan yang layak.
Krusial, jika semua guru honorer berfikir akan hengkang dari instansi sekolah tempatnya mengabdi dan berfikir untuk menjadi wirausahawan, seperti yang pernah diungkapkan oleh Ahmad Heryawan (Gubernur Jawa Barat), “Padahal jika ingin disebut kawasan maju ekonomi, idealnya antara 2 hingga 4 persen penduduk harus wirausahawan” saat menerima penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dengan hengkangnya guru honorer dari instansi tempat mereka mengabdi, kemungkinan besar beberapa sekolah akan mengalami kelabakan. Pasalnya, selain berkewajiban mengajar mereka juga sering diandalkan untuk menjadi operator sekolah. Tapi entahlah…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H