“Duh gawat” tetangga saya memulai percakapan ketika bertamu pagi tadi.
“Gawat kenapa Pak” dengan sedikit heran saya balik bertanya.
“Begini….tapi ini rahasia kita berdua ya (sambil menempelkan telunjuk kanan ke bibirnya) hari ini saya dipanggil kepala dinas, masalahnya uang yang seratus ribu buat ongkos nganterin berkas ke BKD tercium wartawan, akhirnya Pak Kepala Dinas marah-marah dan semua yang sudah ngasih uang harus membuat pernyataan yang isinya menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam memberikan uang untuk transport ke BKD pada dinas” Saya hanya manggut-manggut saja mendengar cerita tetangga tersebut.
“Sebenarnya saya juga tidak rela sih ngasih uang sebesar itu, masa untuk transport ke BKD menghabiskan uang 8 juta rupiah (Rp.100.000,- x 80 orang maksudnya) terus semua yang masuk database diwajibkan ngasih segitu, kalo 20 atau 30 ribu sih gak masalah, belum lagi untuk nandatanganin, kita harus ngasih lagi 25 ribu/orang” Dia meneruskan ceritanya.
Ternyata tetangga saya tersebut masuk dalam database honorer yang diprioritaskan untuk diangkat CPNS dan Hornas yang mana 3 hari yang lalu telah mengikuti tahapan awal yaitu pemberkasan di kantor dinas pendidikan kecamatan. Saya sedikit termenung mendengar cerita tetangga saya tersebut. Jadi teringat 2 tahun yang lalu ketika saya sendiri mengalami hal serupa dimana segala macam pengeluaran (termasuk biaya transport yang melambung) harus ditanggung oleh saya dan kawan-kawan seangkatan.
Inilah realita yang terjadi di negeri ini, dimana uang diatas segalanya. Dan itu baru tahapan pertama. Belum lagi tahapan-tahapan selanjutnya yang benar-benar menentukan. Bahkan sudah menjadi rahasia umum tarif untuk menjadi seorang PNS dibanderol dengan harga 40 sampai 70 juta, sehingga tidak heran apabila kinerja seorang PNS seperti apa yang kita lihat sekarang ini.
Akhirnya saya hanya dapat berkata “Begitulah Pak keadaan kita sebagai masyarakat bawah, kalau kita tidak mengikuti tidak menutup kemungkinan kita dipersulit dalam proses selanjutnya, walau bertentangan dengan kata hati kita ikutilah apa yang mereka mau….”
Mudah-mudahan cerita tetangga saya esok hari merupakan kabar gembira untuk menentukan masa depannya. Sukses ya Pak!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H