Pagi, di secarik kertasku Katamu, “Di beranda timur, matahari sedang melangkah lamban. Mungkin dia sedang merekam cara melipat mimpi dengan sopan” Tak ada yang salah, mungkin aku yang tak menyimak dengan benar. Sepertinya pagi adalah waktu yang tepat untukku bertanya ulang. “Ada apa dengan mimpi semalam?”. Bukan sengaja melupa, tapi detak yang mulai detik lagi di dada kiriku itu berkata lirih “Lupakan matahari”. Dia, matahari yang pernah hidup di matahati. Menciptakan kemarau, juga fatamorgana yang serupa pelangi. Tapi mengapa sejak matinya di beberapa purnama lalu, aku tak bisa membuatnya berhenti gentayangan di semesta mimpi. Ahh seseorang pernah berkata “Akulah matahari yang takluk di pelukmu”. Itu mimpiku semalam. **** Katamu, “Letakkan semua mimpimu dalam gelas-gelas kaca di sudut kamarmu. Pandanglah kapanpun. Apa artinya sebuah mimpimu? Bila tak pernah cukup membawa cinta ke hangat yang benar”. Kau benar, aku saja yang tak cukup pandai menekan rasa. Mimpi terlalu indah jika hanya untuk digenggam dan dibawa berlari seharian. Membuatnya aus tergerus masa dan tiada mewujud dalam nyata. Dan ketika tersadar aku mengingat petuahmu untuk menjaga mimpi telah menjadi usang untuk disesali. Kau, datang bersama pagi dan kenyataan, mengetuk kepalaku yang ternyata sangat bebal “Terjebak jadi pemimpi, melupa cara melangkahi nyata, itulah aku!”. Aku, adalah puisi yang tak pernah rampung untuk terbaca, terselip di halaman terakhir perkamen usang. “Ahh, kasihan”. **** Katamu, “Pagimu, adalah sebidang tanah gembur dengan benih mawar paling subur. Puisi-puisi yang berujar lebh jujur tentangmu, kusimpan di lemari dalam kamarku. Hanya aku dan debu-debu yang membacanya”. Tahukah kau, ini bukan lagi tentang salah dan benar. Juga tentang kata-kata yang tak pernah menjadi genap. Bukan pula kisah-kisah yang tak mampu menjadi utuh. Tapi tentang mimpi yang semestinya diperjuangkan. Seperti secangkir hangat untuk gerimis, mungkin itulah riuh rinainya mimpi kelak tergelak. Menghitung satu-satu reinkarnasinya ke dalam nyata. “Langit lupa menggantung matahari, aku mencari cahaya di lembar puisimu, di bait-bait penuh pendar kecintaan” ingatlah, kau pun pernah mengatakan ini. Sebab kelak kau benar akan selalu merindu cahaya itu. Meski aku bukan matahari. Terimakasih untuk secangkir godaan pagi ini. Makassar, 22 Mei 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H