Melihat senja di pelupuk matamu. Aku rasakan senandung sendu dalam pelukan ibu. Air yang menetes perlahan melambat kembali ke awan-awan. Naik dan terus naik tak bisa dicegah.
Di awal purnama ini. Pedang kilat membentar-bentar dan lalu menancap padamu. Bagai Dawala yang tlah sempurna berlaga. Kau tercerabut dari panggung sandiwara, di istirahatkan oleh sang mpunya cerita.
Burung-burung merpati putih datang dalam senandung rindu. Mencari satu cinta yang mesti dibawanya pergi. Biarkanlah.... Biarkan cinta bicara, karena ini adalah suatu kepastian.
Kerikil-kerikil yang membantu Ibrahim pun. Tidak akan mampu mengusir burung-burung merpati putih. Karena senja di ujung matamu itu, telah terbit suara khayal berujar... Tuntas.
Awan malam membawa kandungannya. Muntahlah... Menambah keriuhan yang terjadi. Ditarik seribu rasa yang membuncah dalam dada. Hujan di langit... Hujan di hati. Tak juga membuatnya kembali.
Pedang kilat kembali ke Sang Pelampar. Hujan berhenti perlahan dan kembali ke awan-awan. Keriuhan orang-orang tak lama jadi serupa, “lancarkanlah, damaikan, dan sempurnakanlah ia”. Dalam diammu itu aku dengar... Tuntas.
Engkau pernah berkata bahwa hikmah kan selalu ada. Mulutku ikut lantunkan puji-pujian. Padang pasir jadi jalanmu kini. Lancarkanlah. Yakinlah ada satu sumur untukmu di sana. Ini bukan penuntasan... Tabahlah....*** Kuningan, 11 April 2018.
- Penulis: Dede Rudiansah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H