Mohon tunggu...
Dede Rohimah
Dede Rohimah Mohon Tunggu... -

Seorang Mahasiswa Kedokteran Gigi di Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dokter Gigi Langka, Tumbal Sekolah yang Mahal

27 Desember 2013   10:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:26 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dokter Gigi Langka, Tumbal Sekolah yang Mahal

Dede Rohimah, FKG Unpad

Jika pulang ke daerah asal saya di Banjar Jawa Barat, tak jarang saya masih menemui tetangga saya yang masih mencabut giginya dengan cara kovensional, dengan sehelai benang yang ditalikan ke gigi yang goyang lalu ditarik keras-keras sampai gigi copot.

Mengapa hal ini bisa terjadi?

Jawabannya adalah karena kurangnya jumlah dokter gigi. Menurut Konsil Kedokteran Indonesia, jumlah dokter gigi per 3 November 2013 adalah sebanyak 26.767 orang. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa, maka seorang dokter gigi harus melayani sebanyak 9000 an penduduk Indonesia. Padahal, perbandingan ideal dokter gigi adalah 1:1000. Akibatnya, pelayanan kesehatan gigi di Indonesia belum maksimal. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT, 2004), prevelansi karies di Indonesia mencapai 90,05%, hal ini menunjukan tingkat kesehatan gigi di Indonesia yang masih sangat rendah dan memprihatinkan.

Penyebab utama hal tersebut tentunya adalah karena kurangnya jumlah dokter gigi di Indonesia. Namun, hal ini dipicu dan dipengaruhi oleh karena sistem pendidikan dokter gigi yang masih terkesan eksklusif. Biaya pendidikan untuk menempuh profesi dokter gigi tergolong masih mahal. Menurut Dentamedia (2008), biaya masuk fakultas kedokteran gigi bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Jika dibandingkan dengan kondisi perekonomian penduduk Indonesia dengan 75 % penduduknya yang merupakan kalangan menengah ke bawah, maka hanya sebagian kecil kalangan saja yang mampu mengenyam pendidikan untuk menjadi seorang dokter gigi.

Hal ini sebenarnya sudah menjadi fenomena umum di masyarakat. Seperti kata pepatah, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Jika sistem pendidikan dokter gigi dibiarkan terus menerus seperti ini dengan hanya kalangan khusus saja yang bisa mengenyamnya, maka permasalahan kesehatan gigi di Indonesia akibat kurangnya dokter gigi tidak akan pernah terselesaikan. Gigi dan mulut yang sehat hanya akan menjadi angan bagi rakyat Indonesia.

Solusi permasalahan ini sebenarnya sederhana. Jika ada kekurangan, maka harus ada penambahan. Begitu juga dengan jumlah dokter gigi yang masih kurang, harus ada penambahan jumlah calon dan dokter gigi yang akan diluluskan dari perguruan tinggi. Berkenaan dengan mahalnya biaya pendidikan dokter gigi, maka pemerintah bisa mengembangkan sistem-sistem beasiswa untuk calon mahasiswa dengan kemampuan akademik yang baik namun mempunyai tingkat ekonomi yang rendah.

Salah satu beasiswa yang mungkin adalah beasiswa Bidik Misi. Bidikmisi adalah bantuan biaya pendidikan yang diberikan pada mahasiswa baru yang tidak mampu secara ekonomi dan berpotensi akademik baik. Sampai tahun 2013, sudah hampir 90.000 mahasiswa yang menerima bantuan biaya pendidikan ini. Namun, fenomena yang terjadi, hanya sekitar 1% yang masuk ke fakultas kedokteran gigi. Jika mahasiswa penerima Bidik Misi yang masuk dalam fakultas kedokteran gigi tiap tahun jumlahnya dinaikkan sampai 5%, maka kebutuhan akan dokter gigi untuk merawat kesehatan gigi dan mulut rakyat Indonesia akan terpenuhi hanya dalam beberapa tahun.

Namun semua ini dikembalikan lagi kepada pemerintah dan para pemegang kekuasaan di Indonesia. Jika memang pemerintah bersungguh-sungguh untuk meningkatkan derajat kesehatan gigi rakyat Indonesia, maka bukan hanya kebijakan seperti itu yang bisa diterapkan. Kebijakan-kebijakan lain yang lebih besar manfaat dan pengaruhnya untuk kesehatan gigi rakyat Indonesia pun akan mudah saja dilaksanakan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun