Tetes air hujan bersahutan memecahkan kesunyian pada Senin (30/5) pagi itu. Sesekali terdengar suara kokok ayam yang seolah memastikan pagi hari telah tiba, walaupun matahari belum juga tampak. Sekeliling mata memandang hanya gelap terlihat dengan penerangan cahaya redup disisi tertentu.
Kala itu waktu masih menunjukkan pukul 04.20 WITA, bahkan adzan subuh belum terdengar berkumandang.Tidak seperti biasanya, gedung dekanat FISIP Universitas Mulawarman Samarinda dipenuhi segerombol mahasiswa dengan almamater kuning menggantung di lengan. Ya, mereka dan juga termasuk penulis merupakan mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2013 yang siap untuk mengikuti kunjungan ke Bontang.
Perjalanan dari Samarinda ke Bontang membutuhkan waktu sekitar 2-3 jam dan merupakan perjalanan pertama kali bagi penulis. Tepat pukul 05.17 WITA, sebanyak empat bus besar yang bermuatan 25 penumpang serta satu mini bus bermuatan 14 penumpang berjalan beriringan melewati aspal yang pagi itu tampak basah karena hujan yang tak kunjung reda.
Sepanjang perjalanan, penulis duduk di kursi paling belakang berbagi tempat dengan empat orang lainnya. Selama satu jam perjalanan, tidak ada masalah apapun kecuali guncangan yang terlalu keras akibat jalan berlubang dan suspensi pada bus tersebut yang tidak berfungsi dengan baik meredam getaran yang timbul. Hal tersebut masih memungkinkan bagi penulis dan mahasiswa lain untuk beristirahat sepanjang perjalanan membayar rasa kantuk karena telah bangun lebih awal.
Sebelum akhirnya, seluruh mahasiswa dalam bus nomor 4 yang penulis tumpangi terbangun dari tidur karena guncangan yang begitu keras. Ternyata baru saja melawati jalan yang rusak cukup parah, padahal masih belum setengah perjalanan dari total 117 kilometer jarak dari Samarinda.
Penulis lalu melihat kearah jendela bus yang tertutup embun tipis dan butiran air. Diluar tampak jalanan yang berlumpur dan bergelombang seolah menghalangi perjalanan kami. Bahkan ada salah satu badan jalan tepat disebuah tanjakan hanya cukup untuk satu jalur sehingga kendaraan harus melewatinya dengan bergantian. Sementara itu sisi kanan dan kiri tampak bibir lembah yang begitu curam. Ini bagaikan menikmati wahana roller coaster terpanjang di dunia.
Seketika penulis berpikir dan kembali mengingat cerita beberapa teman yang mengatakan bahwa Bontang menjadi sarang salah satu perusahaan industri terbesar di Kaltim, Pupuk Kaltim (PKT). Yang juga bersanding dengan perusahaan besar lain yaitu PT. Badak NGL (selanjutnya penulis akan memakai Badak LNG). Ya, dua perusahaan itu yang menjadi destinasi kunjungan kami. Terbayangkan betapa rapi tata kota dan infrastruktur yang tampaknya memadai, terlebih Bontang memiliki jumlah penduduk dan pemukiman yang tidak sepadat Samarinda. Namun mengapa akses jalan ke Bontang justru tergolong sulit? Pertanyaan tersebut seakan menghiasi perjalanan penulis disamping guncangan yang kerap menerpa disepanjang jalan hingga sampai di Kota Bontang.
Sejujurnya, selama penyampaian materi dari PR Badak LNG, penulis tidak begitu memperhatikan karena kelelahan diperjalanan. Tapi setidaknya banyak poin yang bisa ditangkap tentang Badak LNG, sebagai perusahaan yang berkerja untuk mengubah gas menjadi bentuk cair atau Liquid Natural Gas (LNG) agar mudah dalam distribusi. Dari pemaparan pemateri, tampak betapa profesionalnya PR perusahaan tersebut terutama dalam hal publikasi dan meng-cover isu. Bahkan Badak LNG memiliki siaran televisi dan rumah produksi sendiri yaitu LNG TV.
Setelah materi usai, dilanjutkan dengan plan tour keliling wilayah kerja, yaitu kilang tempat dimana proses pencairan gas berlangsung. Didepan sudah menunggu seorang karyawan dengan membawa kantung-kantung kecil berwarna hijau dan biru dengan logo Badak LNG. “Silahkan, di pintu keluar ada kenang-kenangan dari kami,” ujar salah seorang karyawan mengarahkan semua peserta termasuk dosen untuk mengambil kantung tersebut.