Dengan mempercepat langkah kaki, ku lalui lorong gang kelinci yang sempit dan penuh timbunan pembuangan tembok bangunan. Jalan alternatif ini aku gunakan jika kepepet terlambat datang masuk kelas.
Setelah sampai di gerbang sekolah aku terkejut sekali dan sangat malu karena teman-teman di lapangan sedang berlatih mengibarkan bendera merah putih dengan berseragam merah putih.Â
Sementara aku berseragam pramuka. Mereka berlatih baris berbaris serta paduan suara serta ada yang sedang membacakan Undang-Undang Dasar seribu sembilan ratus empat puluh lima.
Mengapa aku bisa lupa dan tidak ingat hari apa ini, aku kesal pada diriku sendiri, namun apa daya nasi sudah menjadi bubur. Sepuluh menit lagi upacara akan di mulai, tentulah jika pulang mengganti seragam tidak terjangkau.
Aku  sangat bingung, ketika itu temanku datang menghampiri sambil menepuk pundakku, mengajak segera masuk kelas karena pintu gerbang akan segera di tutup. Temanku akan menutup pintu gerbang sekolah karena menjadi petugas piket hari itu.
Aku di tuntunnya masuk kelas, walau hati ini menolak memberontak, apa daya jika pulang ke rumah pun tidak akan sempat mengikuti upacara bendera dalam rangka hari kemerdekaan negara republik Indonesia tercinta.
Â
Ingin rasanya kembali lagi ke rumah, sekadar ganti baju. Ketika aku dilema menghadapi masalah ini, banyak sekali teman-teman yang mentertawakanku, dengal kata-kata " galtum" alias gagal kostum. Menahan malu yang tak berujung, membuat air mataku jatuh tepat di tangan kiri temanku yang sedang menuntunku menuju kelas.
Setelah sampai kelas, ternyata kelasnya masih sepi aku bersyukur sekali. Tidak di sangka tidak di nyana, temanku mengajak ke ruang kelas lain, untuk menukarkan baju seragamnya dengan  alasan sedang ingin sekali memakai seragam pramuka. Padahal ia mau menolongku untuk menutupi kesalahan kostumku.
Alhamdulillah, aku mau saja, walau tadinya ragu dan menolaknya. Setelah semua selesai saling menukar baju seragam, bel sekolah berbunyi. Kami berlari untuk segera kumpul berbaris di lapangan.
Â
Banyak yang memandangi kami, mungkin menganggapku aneh, begitu pula temanku yang baik itu rela malu mengganti seragam pramuka dengan kostum yang berbeda, apalagi ia sebagai petugas upacara bendera yang di tugaskan sebagai pemimpin upacara bendera.
Temanku dengan berani dan rasa percaya diri yang kuat berkata " Kalau berbeda lalu kenapa?" akhirnya semua membuat teman-teman lain menganggapnya  hebat, dan semua guru pun akhirnya memaklumi dan mengaguminya. Ketika aku akan mengucapkan terima kasih, dan mengajak tukeran kembali, temanku menghilang entah di mana keberadaannya.
 Ketika aku sadar dan terjaga, ternyata ini semua hanya mimpi akibat membaca buku yang berjudul kalau berbeda lalu kenapa karya Sri Rohmatiah sahabat menulisku. Beruntunglah bahwa ini hanya mimpi, bunga tidur saja. Terima kasih teman.
Semarang_17 Agustus 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H