Di tengah keramaian kota besar, seorang pria berjalan dengan langkah berat. Matanya terus-menerus memandang sekeliling, mencoba memahami dunia di sekelilingnya. Namun, semakin lama ia memandang, semakin terasa bahwa dunia ini tidak adil. Di sini, tempat untuk berkembang seakan menjadi hak istimewa bagi mereka yang beruntung. Privilege tampaknya menjadi kunci untuk membuka pintu-pintu kesempatan.
Pria itu menyadari bahwa bekerja keras bukanlah jaminan untuk sukses. Bahkan, kadang-kadang usaha keras hanya membawa dampak negatif pada fisiknya sendiri. Bukannya menjadi lebih kaya, ia malah merasakan sakit baik secara fisik maupun mental.
Berbeda dengan orang-orang yang terlahir dengan privilege, mereka tampaknya memiliki akses mudah ke jalan kesuksesan. Mereka tidak perlu berjuang sekeras yang ia lakukan; yang mereka butuhkan hanyalah tindakan cerdas dan keputusan yang tepat untuk mempertahankan apa yang sudah ada.
Meski ia tidak membenci orang-orang yang memiliki privilege, ia merasa bahwa ini adalah hukum alam yang tidak bisa dihindari. Namun, ironisnya, ada juga mereka yang memiliki privilege namun gagal sukses karena kelalaian dan tindakan mereka yang kurang cerdas.
Tapi di tengah semua kekacauan ini, ada juga mereka yang berjuang tanpa privilege namun berhasil meraih sukses. Mereka adalah bukti bahwa keberuntungan mungkin bukanlah satu-satunya faktor penentu kesuksesan.
Dalam kebingungannya, pria itu bertanya-tanya, apakah keberuntungan benar-benar ada? Apakah ia bisa meyakini adanya keberuntungan? Dan jika semuanya kembali kepada keberuntungan, lalu untuk apa ia harus bekerja keras?
Di keheningan malam, tanpa jawaban yang pasti, pria itu terus berjalan, mencari arti dari semua pertanyaan yang menghantuinya. Mungkin, di antara rahasia dunia yang tak terpecahkan, ada jawaban yang menunggu untuk diungkap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H