Hujan terus mengguyur kota kembang tercinta ini, kota yang telah melahirkan banyak kenangan indah maupun pahit bersamanya selama belasan tahun lamanya. Kini semua memang hanya tinggal kenangan bagiku bersamanya, dan aku kini hanya sendiri di kota yang orang bilang sebagai kota kelahirannya para mojang geulis dan jejaka kasep ini. Jika teringat segala cerita bersamanya, tanpa ku sadari airmataku menetes perlahan tanpa aku menginginkannya, dan diantara tangisan itu sesekali aku menyungging senyuman yang menyorotkan kisah-kisah lucu bersamanya.
Aku adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Kimia di salahsatu universitas terkemuka di kota ini, aku memiliki hobby bernyanyi dan berakting, namun sayangnya aku belum bisa mewujudkan hobbyku itu menjadi sebuah cita-cita besar sebagai penyanyi dan actor di negriku sendiri Indonesia pada khususnya,syukur-syukur aku bisa menjadi penyanyi dan actor internasional, namun nampaknya cita-citaku itu tak kan terwujud dalam waktu dekat ini, karena saat ini aku sedang sibuk menyelesaikan skripsi study S1 ku. Orang-orang bisa mengenal aku melalui facebook,twitter,dan Blogspot, karena selain eksis sebagai artis dunia maya, aku juga menjadi cerpenis di blogku sendiri. Teman-teman memanggilku Yuji, entah dari mana nama itu mereka dapat, mungkin dari nama lengkapku Adcer Hilma Yujira, naun keluargaku memanggilku Cer. Dan aku lebih suka di panggil Yuji.
Sejak pertama kali masuk sekolah dasar, aku memiliki seorang sahabat yang bernama Riftan Narya Nugras, yang baru ku kenal saat itu juga karena ayahnya yaitu bapak Hangga Narya menitipkannya kepada ayahku untuk mendaftarkannya di sekolah itu, katanya ayahnya sudah terlambat untuk pergi miting di Surabaya. Maklumlah ayahnya merupakan pengusaha yang sukses di kota Bandung, memiliki distro di setiap pusat perbelanjaan di kota Bandung. Yah dialah sahabatku, yang di titipkan ayahnya beserta selembar kertas mengenai biodatanya dan sejumlah uang untuk memenuhi syarat pendaftaran.
Enam tahun telah berlalu semenjak perkenalan kami di sekolah dasar yang telah membentuk kami sebagai siswa yang mampu berkompetisi sebagai juara satu dan dua di sekolah itu, sekolah dasar yang telah mengenalkan banyak hal mengenai persabatan dan kehidupan yang ceria sebagai anak kecil yang cerdas dan menjunjung norma. Kini kami berdua baru saja selesai mengikuti masa orientasi sekolah di sebuah sekolah menengah pertama bertarap negeri yang cukup elit karena hasil ujian sekolah dasar kami cukup besar untuk bisa masuk tanpa tes di sekolah SMP ini. Perasaan egois mulai muncul diantara kami, satusama lain kami merasa sudah menjadi remaja, padahal kami belum bisa di katakana remaja, karena suara kami masih cempreng-cempreng berisik dan belum memiliki jerawat satupun, namun Riftan mulai nakal dengan lawan jenisnya dan mencoba-coba belajar menggoda walaupun akhirnya rayuannya malah dibalas makian anak wanita itu.
Hari itu ada yang aneh terjadi pada sahabatku itu, dia tiba-tiba serak padahal kemarinnya hanya main hujan-hujanan sepulang sekolah denganku, seharusnya dia demam atau flu, tapi ini malah serak sungguh tidak nyambung rasanya, yah tapi itulah penyakit, dan selain itu dia juga bercerita kepadaku secara diam-diam di pojok kelas, semalam dia bermimpi aneh bersama seorang gadis yang sama sekali tidak ia kenal, ia seperti melakukan ciuman dan bermain kuda-kudaan sehingga ketika terbangun dari tidurnya ia merasakan celananya basah, dan ia sangat bingung dan takut karena sudah lama sekali ia tidak pernah lagi mengalami ngompol pada saat tidur, tetapi pada malam tadi ia seperti mengalaminya lagi, namun bedanya cairan yang keluar justru seperti lendir seekor bekicot, maka jelas hal itu membuatnya gelisah, kejadian ini juga begitu aneh bagiku, karena selama hidupku aku belum pernah merasakan hal tersebut terjadi kepadaku.
Dua tahun telah berlalu, dan kini kami menjadi angkatan tertua di sekolah ini yaitu sebagai kelas tiga yang sudah adat turun menurun menjadi penguasa sekolah dengan segala hal, tentu saja aku dan sahabatku tetap berada di barisan yang positif. Pertanyaan besar selama dua tahun yang bersarang di otakku dan otak Riftan akhirnya terjawab pada matapelajaran biologi kelas tiga, bahwa apa yang riftan alami dua tahun lalu, dan menyusul aku di tahun berikutnya, ternyata merupakan cirri-ciri bahwa kami mulai beranjak baligh dan memiliki kewajiban untuk menjalankan perintah agama kami yaitu Islam, dan bertanggung jawab pada diri sendiri, dan itu tandanya kami juga mulai memasuki masa pubertas. Dari sejak itulah kami bangga jika kami telah menjadi dua remaja tampan yang mulai di lirik kaum hawa di sekolah itu, dan tak perlu menunggu lama, sekitar dua minggu sejak mulai tahun ajaran baru kami di kelas tiga SMP, kami memiliki pasangan atau lebih kerennya pacar. Naira, dialah gadis manis dengan tahilalat yang imut di bagian pipi menjadi pilihan hati seorang riftan yang sangat unggul pada semua mata pelajaran terutama sejarah. Gadis cantik itu tertarik pada riftan karena kepintaran riftan mengeluarkan kata-kata rayuan sehingga membuat Naira terpikat kepadanya.
Sehari setelah Riftan jadian dengan Naira, seperti merasa termotipasi akupun melancarkan aksiku kepada seorang gadis manis anak kelas dua bernama Sagita yang ku sukai sejak dia masih kelas satu dan aku baru masuk kelas dua dimana aku mengalami perubahan suara, dan mengalami mimpi basah. Sudah lama juga ternyata Gita menyukaiku, namun aku tak pernah sadar kalau selama ini coklat dan permen lollipop yang ia berikan kepadaku merupakan salahsatu bukti pendekatannya kepadaku. Dan hari ini aku menyatakan semua isi hatiku kepadanya bahwa aku mau memulai sebah hubungan yang orang bilang pacaran dengan dasar rasa suka dan saying yang mungkin juga dinamakan cinta, begitupun gita yang dengan malu-malu dan suara lembutnya membuat hatiku bergetar dan jantungku dag dig dug mengatakan kalau akau adalah satu-satunya kaka kelas putra yang dia sukai sejak masuk sekolah ini, dan dia sejak lama menginginkan menjadi pacarku.
Masa telah berganti, pemikiran pun semakin berkembang, aku mulai merasakan kesepian setelah perpisahan sekolah dua tahun lalu, dan tak pernah lagi bertemu dengan gadis pujaan hatiku yang bernama Sagita yang masih menjadi pacarku namun sekarang entah dimana ia berada, aku sudah tak lagi mendengar kabarnya sejak aku lulus dari SMP itu. Berbeda dengan Riftan yang hingga saat ini masih menjalin hubungan baik dengan Naira kekasihnya semenjak SMP karena aku, Riftan dan Naira masih satu sekolah. Dua tahun mungkin cukup untuk penantianku kepada Gita yang hingga saat ini tak kunjung datang menemuiku atau sekedar mengirim kabar, karena dia tahu rumahku dan tahu sekolahku, karena pada saat acara perpisahan aku memberinya selembar kertas yang ku tuliskan alamat rumah dan sekolah SMA ku.
Sebulan terakhir ini aku merasa ada beberapa gadis yang mencoba mencuri-curi perhatianku, diantaranya Maria, Nadira, Rifka, dan Azdew. Namun diantara gadis-gadis itu yang berhasil membuatku bisa tersenyum bahagia dan berarti, iya dialah adalah Nadira, gadis berlesung pipit yang menjadi rebutan kaum adam di SMA ku itu, gadis cerdas putri dari kepala sekolahku yang baik hati namun tegas. Nadira benar-benar gadis yang berani, dan benar-benar membuktikan jikalau dirinya bukanlah wanita yang lemah dan hanya bisa menunggu umpannya di sambut lalu aku datang untuk memintanya menjadi pacarku, pada kisah ii Nadira lah yang lebih dulu mengungkapkan perasaannya kepadaku dengan lantang dan berani sehingga aku tak mampu menolak gadis yang begitu cantik, cerdas, terhormat, dan berani itu. Akhirnya seminggu setelah dia mendekati aku, kami jadian dan hamper setiap hari setelah kami resmi menjadi pasangan kekasih aku bermain ke rumahnya dan bertemu dengan ayahnya yang berwibawa tinggi itu dengan alasan kami belajar bersama, namun ayahnya mengerti betul jika kami berdua tidak mungkin hanya sekedar berteman, mengingat aku teramat tampan dan anaknya sangat cantik, jadi mustahil jika kami tidak memiliki ubungan khusus, maka seminggu setelah kami jadian, ayahnya Nadira menceramahiku habis-habisan agar untuk bersikap dan berkata jujur apapun yang akan terjadi setelah jujur itu terjadi, dan ternyata beliau mengerti kami dan mengijinkan hubungan kami.
Siang yang sangat panas, setelah pelajaran olahraga selesai aku dan Riftan tidak lekas masuk kamar mandi untuk berganti pakaian, Riftan meminta aku menemaninya kekantin yang tak jauh letaknya dari kamarmandi sekolah sehingga kami sekalian mengantri. Seperti di sambar petir di siang terang benderang tanpa awan mendung ataupun angin topan aku mendengar cerita sahabatku yang begitu perih dan mengiris hati, di waktu yang hamper bersamaan dengan hari jadianku bersama Nadira, yaitu saat dimana aku dan Nadira merasa begitu bahagia karena kami bak pangeran tampan dan putri raja yang baru bertemu setelah jutaan tahun terpisah dan kini menjalin cinta kembali. Riftan malah saat itu benar-benar terluka hatinya karena kekasihnya yang juga telah menjadi sahabatku yaitu Naira memutskan hubungan mereka sebelah pihak secara tiba-tiba dan tanpa sebab dan alasan yang pasti dan bisa di terima oleh sahabatku Riftan. Tega sungguh tega dan tak ku sangka Naira mampu melakukan itu semua, dan saat itu juga aku beranjak dari kursiku untuk menemui Naira dan meminta penjelasan kepadanya, namun tiba-tiba Riftan menarik tanganku dan ia memberitahuku jikalau Naira telah pindah sekolah setelah seminggu mereka putus tanpa member tahunya kemana ia pindah sekolah. Saat itu akupun ikut merasakan sakit yang di rasakan sahabatku, aku seperti orang yang hamper gila mendengar kekejaman yang dialami oleh sahabatku, airmataku ikut menetes mendengar Riftan yang bercerita sembari sesekali sesenggukan dan berurai airmata. Padahal hari itu aku baru mau memberitahunya kalau aku telah memutuskan berhenti mengharapkan Sagita yang tak tahu dimana adanya, dan aku telah menentukan hatiku untuk memilih Nadira sebagai kekasih baruku, dan rencana itu ku urungkan bersamaan cerita dukanya sahabatku.
Delapan bulan kini telah terlewatkan dengan baik olehku, dan kekasihku Nadira yang sudah teramat aku cintai, namun tidak begitu baik delapan bulan itu di lewati oleh Riftan sahabat terbaikku yang masih menyimpan luka akibat kekejaman Naira yang meninggalkannya secara tiba-tiba. Sebenarnya delapan bulan itu juga tidak begitu lancer aku lewatkan juga sih, karena selama ini aku masih belum berani mengatakan kalau aku memiliki kekasih seorang putrid raja sekolah kami yaitu Nadira, selama Riftan masih bersikap murung dan enggan membuka diri untuk kehidupan luasnya. Ujian Nasional sudah semakin dekat, getol-getolnya Nadira menyemangatiku untuk belajar lebih rajin untuk beberapa hari kedepan sampai seminggu sebelum waktunya ujian tiba, dan setelah itu dia akan mengajakku berlibur di kampung nenek dari ibunya yang ada di kota Jogjakarta, tentu saja aku meminta Nadira agar aku juga mengajak sahabatku yaitu Riftan yang tak pernah ia kenal secara lebih dekat.
Entah perasaan kotor macam apa yang mulai tumbuh dan bersarang di otakku saat ini melihat kedekatan kekasihku dengan sahabatku yang sudah lama tak ku dengar tawa lepasnya semenjak kepergian Naira dari hidupnya. Apa mungkin ini cemburu?, tapi sebelumnya aku belum pernah merasakan hal ini, terlebih lagi kepada dua orang yang aku percayai dan mampu menjaga perasaanku yaitu kekasihku dan sahabatku sendiri. Seminggu hamper aku habiskan bersama mereka berdua di kota candi Borobudur ini, namun sama sekali aku tidak merasa kalau ini merupakan hadiah liburan yang di berikan oleh Nadira, aku lebih merasakannya seperti siksaan, yang aku tak bisa berbuat apa-apa dengan melihat keadaan ini, namun aku harus tetap berpikir positif, setidaknya untuk enam hari kedepan setelah pulang dari kota ini hari sabtu besok, sampai selesai Ujian Nasional kamis yang akan datang, setelah itu aku harus jujur mengatakan kepada Riftan kalau Nadira dan aku telah menjadi pasangan kekasih semenjak lebih dari delapan bulan lalu.
Ada perasaan sedih, kecewa, dan marah dalam dadaku, entah harus marah kepada siapa, tak tahu harsu kecewa kepada siapa, dan haruskah aku menangis karena ucapannya?. Rasa cemburuku berlanjut sampai menjelang perpisahan sekolah menengah atasku kepada Riftan sahabat terbaikku yang juga merupakan saudara terbaikku selama hampir dua belas tahun. Kekasihku yang sangat aku cintai, Nadira Mira Atikah, ia mengatakan hal yang sama sekali tak ingin aku dengar selama hidupku, “kak, kak Riftan tadi pagi menelponku seusai solat subuh, ia tak banyak berkata, ia hanya bilang kalau liburan di Jogja denganku sangat menyenangkan sehingga ia bisa melupakan Naira dan mulai mencintai aku, dan saat itu juga ia memintaku menjadi kekasihnya.” Saat itulah kali pertamanya Nadira melihat airmataku menetes dari sudut kedua mataku, dia melihat betapa besarnya kasih sayangku kepada Riftan sahabatku satu-satunya yang terbaik semenjak SD. Dan saat itu juga aku merasa bimbang, bingung, kecewa, dan membenci diriku sendiri, karena mengapa tidak sejak awal aku mengatakan kepada Riftan jika aku dan Nadira adalah sepasang kekasih!, aku sangat kecewa dan semakin bingung ketika aku melihat di kedua mata gadis yang sangat aku cintai ada seberkas sinarsinar rasa suka terhadap Riftan, dan dari nada bicaranya aku menangkap jika ia juga hampir bahkan mungkin telah merasakan apa yang juga Riftan rasakan kepadanya.
Hari ini merupakan hari pengumuman kelulusan di sekolah yang sebentar lagi akan aku tinggalkan. Sudah sejak pagi perasaanku tidak menentu, aku merasakan ragu dalam hatiku dengan keputusan yang akan keluar hari ini mengenai kelulusannya dan sahabatnya. Jam tujuh tepat aku berpamitan kepada ayah dan ibuku seraya meminta do’a semoga aku lulus dengan nilai yang memuaskan, dan sejurus kemudian adikku yang baru akan menginjak tingkat sekolah menengah atas yang tak kalah tampan dari kakanya ini menghampiriku dan mendo’akanku juga sebelum aku menstater motorku dan segera berangkat. Aku menjemput Riftan untuk berangkat bersamaku ke sekolah melihat hasil kelulusan kami hari ini.
Setibanya aku di depan gerbang rumah yang cukup mewah itu, tiba-tiba dari pintu utama rumah itu muncul Bi Manar yang telah puluhan tahun bekerja sebagai abdi setia di rumah itu yang juga merupakan pengasuh Riftan sejak bayi sehingga ia sangat sayang seprti kepada anak kandungnya berteriak histeris dan di susul oleh Bi Sisam yang tak kalah histeris menyebut-nyebut namaku dan nama Riftan, sontak aku terkaget-kaget bukan main, dan aku segera masuk ke rumah itu setelah Bi Sisam membukakan gerbang, mereka berdua menarik-narik tanganku menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar Riftan. Saat itu juga aku seperti kehilangan sebelah dari nyawaku menyaksikan Riftan yang bersimbah darah karena aliran darah dari lengannya, segera aku dan dua Bibi tadi membawa Riftan yang sekarat karena mencoba membunuh dirinya sendiri dengan memotong urat nadinya dengan pisau kater kea rah motorku, dan aku segera melaju dengan kecepatan tinggi menuju rumahsakit terdekat untuk menyelamatkan nyawa sahabatku yang kini ada di punggungku kesakitan dan lemah karena hampir kehabisan darah.
Nadira,kedua orangtua Riftan juga kedua orangtua dan adikku datang setelah aku beritahu lewat telpon setelah dokter mulai menangani Riftan, sejam kami menunggu di luar ruangan UGD tempat dimana riftan di rawat dengan gelisah dan penuh tanda Tanya kenapa Riftan yang kami kenal kuat selama ini mampu melakukan hal bodoh semacam itu, jelas aku yang menjadi sasaran pertanyaan itu, karena aku merupakan orang yang paling dekat dengan Riftan dan aku juga orang yang membawanya kerumah sakit ini. Tak ada satupun kata yang terucap dari mulutku, mereka menggoncang-goncangkan tubuhku sambil melontarkan pertanyaan-pertanyaan mengapa Riftan melakukan ini? Tapi yang ada di otakku saat itu adalah Nadira yang mungkin mengatakan sesuatu tentang hubungan kami sehingga Riftan berbuat nekad. Dan ternyata benar, setelah sejam lebih kami menunggu di depan UGD tanpa kabar dari dokter yang ada di dalam, aku mengajak Nadira menjauh dari keluargaku dan keluarga Riftan untuk menanyakan apakah dia mengetahui mengapa Riftan mampu melakukan hal ini?, dan dengan terbata ia menjawab pertanyaanku “iya kak, tadi pagi kak Riftan menelponku lagi dan meminta do’a supaya ia dan kakak dinyatakan lulus pada pengumuman hari ini di sekolah, dan setelah ia selesai bicara aku mengatakan jika aku dan kakak telah menjadi pasangan kekasih dan tak bisa menerima cintanya, itu saja”. Aku mengerti betul perasaan Riftan mendengar pernyataan Nadira, karena ia masih belum bisa melupakan sakit hati yang di tinggalkan Naira dan ditambah dengan pernyataan Nadira semacam itu, ia menjadi begitu lemah.
Setelah lama di tunggu-tunggu akhirnya dokterpun keluar dari ruangan UGD, aku sangat berharap ia membawa berita baik, namun ternyata tidak, tanpa basa basi dokter yang di ikuti beberapa suster meminta maaf kepada kami karena setelah sekian banyak usahanya untuk menyelamatkan Riftan, ternyata berbuah pahit dan Riftan telah tiada setelah mengucapkan istighfar dan menitipak permintaan maafnya untuk kami semua kepada dokter. Seketika itu pula aku seperti kehilangan tulang-tulangku yang selama ini menopangku, aku terjatuh berlutut di lantai depan ruang UGD tanpa bisa mengikuti langkah Nadira,keluargaku, dan keluarga Riftan menghampiri jasad Riftan yang terbujur kaku sudah tak bernyawa, tangisan membludak di ruangan itu, aku sepertinya tengah berada diantara mimpi buruk yang teramat buruk dan tak pernah terbayangkan atau bahkan terbersit di otakku akan kehilangan satu-satunya sahabatku sejak kecil dengan cara tragis seperti ini. Aku sangat menyesal dengan apa yang terjadi, aku telah membunuh sahabatku dengan cintaku kepada Nadira.
^*The End*^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H