Mohon tunggu...
Deden Ramadani
Deden Ramadani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Peneliti Sosial. Menyukai tiga hal dalam hidup : sinema, teknologi dan penelitian.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ekranisasi : Setia atau Tidak Setia?

31 Agustus 2012   14:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:05 1178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignnone" width="500" caption="Poster Perahu Kertas"][/caption] Ada satu fenomena menarik ketika sebuah film hasil adaptasi dari novel tayang ke publik, seperti yang terjadi terhadap film Perahu Kertas karya Hanung Bramantyo. Salah satunya adalah fenomena membanding-bandingkan antara novel dengan filmnya dan langsung menjustifikasi buruk si pembuat film apabila tidak setia dengan isi novel. Lantas, apakah sebuah film hasil adaptasi harus benar-benar setia dengan novelnya? dan apakah kita dapat pula membandingkan antara novel dengan film? Untuk menjelaskan fenomena ini, akan lebih menarik jika kita melihat dari proses penerjemahan novel ke film yang dipopulerkan oleh Eneste sebagai Ekranisasi. Ekranisasi Ekranisasi, yang berdasarkan etimologi diambil dari bahasa Perancis écran yang berarti layar, didefinisikan sebagai pelayarputihan atau pemindahan/pengangkatan novel ke dalam film. Dalam arti luas, ekranisasi dapat diartikan sebagai pengubahan karya dari bentuk non audio visual menjadi audio visual. Begitu banyak film-film hasil ekranisasi yang memiliki arti penting (baik dalam konteks industri dan lainnya) dalam perkembangan sejarah film dunia maupun film Indonesia. Sebut saja film Harry Potter yang selalu mencetak hits penjualan baik dalam novel maupun filmnya. Dalam Film Indonesia, kita dapat melihat fenomena film Catatan Si Boy yang bahkan mempengaruhi gaya dan trend remaja pada masanya. [caption id="" align="alignnone" width="299" caption="Catatan Si Boy"]

Catatan Si Boy
Catatan Si Boy
[/caption] Meng-ekranisasi suatu novel menjadi film sebenarnya memiliki tantangan yang lebih besar dibandingkan membuat film dengan cerita yang orisinil (dalam artian tidak berdasarkan novel). Terlebih apabila novel tersebut sudah memiliki popularitas tersendiri diantara pembacanya. Proses ekranisasi tidak lagi membangun popularitas, tetapi justru menanggung popularitas yang sudah dipegang oleh novel tersebut. Karena secara sosiologis, publik secara insting yang telah membaca novel tersebut, akan mencocokkan bagian-bagian substansial novel dengan film. Film dianggap sebagai ekranisasi yang baik (positif) apabila dianggap mampu merepresentasikan novel. Aturan ini berlaku sebaliknya, ekranisasi dianggap buruk (negatif) ketika ia tidak mampu merepresentasikan novel ke dalam medium film. Lantas, apakah film ekranisasi harus selalu setia dengan novelnya? Interpretasi dan Imajinasi Dalam proses ekranisasi, Pembuat film akan melakukan tiga strategi ekranisasi film yang dijelaskan oleh Dwight V. Swain, Joye R. Swain dalam buku Film Scriptwriting a Practical Manual sebagai berikut : Pertama, mengikuti buku. Kedua, mengambil konflik-konflik penting dan Ketiga dengan membuat cerita baru. Dari ketiganya, yang paling sering dilakukan justru adalah membuat cerita baru. Mengapa? Dalam Ekranisasi, hal yang terpenting adalah bagaimana proses penafsiran novel ke dalam medium film. Karena kuat lemahnya suatu audio visual dalam film merupakan cerminan kuat lemahnya interpretasi dan imajinasi pembuat film terhadap novel. Eneste mengungkapkan bahwa film hasil ekranisasi berpotensi mengalami penyimpangan, baik penyimpangan berupa penciutan, pelebaran (penambahan), maupun perubahan bervariasi yang merupakan percampuran keduanya. Hal itu terjadi karena sutradara ingin memberi pengaruh atau memiliki sudut padang terhadap karyanya berdasarkan interpretasi dan imajinasinya terhadap novel yg diekranisasi. Minat Baca dan Minat Menonton Ekranisasi suatu karya non audio visual menjadi audio visual secara sosiologis memiliki dampak yang cukup luas terutama dalam konteks minat membaca. Film sebagai media yang paling efektif dan massal memiliki kelebihan dibandingkan media-media lain, yang salah satunya adalah tidak memerlukan prasayarat tertentu seperti kemampuan baca tulis dan proses imajinasi. Itulah mengapa film dianggap menjadi penting oleh para penguasa untuk dijadikan alat propoganda. [caption id="" align="alignnone" width="355" caption="Film Propoganda"]
Film Propoganda
Film Propoganda
[/caption] Indonesia, dengan tingkat buta huruf yang masih cukup tinggi dan rendahnya minat membaca diantara masyarakat membuat karya sastra seakan tersingkirkan. Untuk itulah diperlukan suatu upaya untuk membantu sosialisasi karya sastra kepada masyarakat, salah satunya melalui film. Dengan begitu diharapkan dapat mendongkrak minat membaca publik yang rendah ke minat penonton yang tinggi. Kondisi ini sebenarnya terbukti dari perhatian yang besar dari penonton terhadap film-film hasil ekranisasi. Sebut saja film Negeri 5 Menara yang dikutip dari filmindonesia.or.id menduduki peringkat kedua Box Office Nasional dengan jumlah 765.425 penonton. Di tahun 2011, film Surat Kecil Untuk Tuhan mencetak peringkat pertama Box Office Nasional dengan jumlah 748.842 penonton. Film-film terdahulu seperti Catatan Si Boy juga menduduki Film terlaris III di Jakarta, dengan 313.516 penonton, menurut data Perfin. Dalam konteks ini, film hasil ekranisasi memiliki kedudukan yang cukup penting dalam sejarah perfilman Indonesia. Oleh karena itu, permasalahan film memiliki interpretasi yang berbeda dengan novel atau terlalu setia hanya akan menjadi debat yang tak ada akhir. Seharusnya, kita membiasakan diri menempatkan film ekranisasi dan novel dalam ruang yang berbeda, Terlebih mediumnya saja sudah berbeda. Dengan begitu, kita dapat menilai dan merespon sebuah karya seni secara lebih objektif. Bahan bacaan : Saputra, Heru S.P (2009). Artikel Jurnal Humaniora Volume XXI, No. 1/2009; TRANSFORMASI LINTAS GENRE: DARI NOVEL KE FILM, DARI FILM KE NOVEL. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada. http://filmindonesia.or.id/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun