Sensor umumnya selalu dikaitkan dengan pengendalian isi atau muatan film. Sensor pada umumnya merupakan sarana untuk menentukan apa yang bisa dan tidak bisa ditampilkan di layar oleh soerang pembuat film. Tetapi dalam implementasinya, sensor justru menjadi persoalan karena melanggar kebebasan berekspresi dan kebudayaan. Kebijakan sensor pada umumnya dipandang sebagai sebuah penghalang bagi kebebasan seorang seniman dalam berkarya. Sensor juga kerap dipandang sebagai sebuah penghalang bagi kebebasan warga Negara untuk mendapatkan kebebasan informasi yang sebebas-bebasnya. Jika kita melihat lebih jauh, kebijakan sensor film di Indonesia sebenarnya adalah cerminan krisis budaya nasional di Indonesia. [caption id="attachment_195751" align="alignnone" width="576" caption="Tulisan Telah Lulus Sensor Saat Pemutaran Film. Sumber : http://byotenega.wordpress.com"][/caption] Guy Phelps dalam bukunya Film Censorship menyimpulkan bahwa hampir dimanapun, film lebih diatur secara ketat dibanding media komunikasi lain. Hal ini bisa dimengerti, karena medium film adalah yang pertama kali menjadi hiburan bagi orang banyak. Meskipun hadirnya percetakan yang memungkinkan buku dapat diedarkan secara luas dan massal hadir terlebih dahulu dibandingkan film, tetapi buku memiliki kompetensi dasar atau prasyarat, yaitu dapat membaca (melek huruf). Film menjadi lebih unggul karena persyaratan melek huruf ini tidak diperlukan. Bahkan, untuk menikmati sebuah tayangan film pada dasarnya dapat dilakukan tanpa syarat sama sekali. Karena itu popularitas dan penyebaran film jauh melebihi kemampuan buku. Popularitas dan penyebaran yang sifatnya massal membuat Lenin mendirikan subseksi film di bawah komite Negara untuk pendidikan pada tanggal 9 November 1917. Dua tahun kemudian, agustus 1919, seluruh industri film dinasionalisasi dan ditaruh dibawah komisariat Rakyat untuk propaganda dan pendidikan. Lenin beranggapan “Dari semua bentuk kesenian, film adalah yang terpenting untuk kita”. Anggapan Lenin ini kemudian diamini oleh pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Pada tahun 1964, Soekarno memutuskan bahwa pembinaan perfilman dilakukan oleh Menteri Kompartimen Perhubungan dengan Rakyat atau Menteri Penerangan. Salah satu pertimbangannya adalah bahwa film merupakan alat publikasi massa yang sangat penting untuk nation building dan character building dalam rangka mencapai tujuan revolusi. Orde Baru juga meyakini bahwa film merupakan medium yang ampuh dalam menyebarkan dan menanamkan gagasan. Itulah mengapa Orde Baru secara aktif menggunakan medium film dalam menciptakan ketertiban sosial, politik yang dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru. Muatan film diarahkan guna mendukung gagasan mengenai ketertiban, keunggulan lembaga otoritas formal di atas masyarakat sipil dan menciptakan mitos mengenai kekuatan Negara orde baru dalam melindungi rakyatnya. Perjalanan selanjutnya, sensor kerap ditempatkan berada di antara moralitas dan kepentingan komersial. Di satu sisi, Lembaga Sensor Film (dulu disebut Badan Sensor Film) dianggap bisa menjaga “moralitas”, norma, dan nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat dengan memotong film-film yang menggambarkan kekerasan, seks dan hal-hal lain yang dapat mengganggu ketertiban masyarakat. Tetapi di sisi lain, pada saat penonton tak lagi datang ke bioskop karena berbagai hal, seperti yang terjadi para paruh pertama dekade 1990-an (kemunculan TV swasta dan maraknya pembajakan lewat medium yang lebih murah yaitu VCD) maka sensor akan melonggarkan gunting mereka guna mengembalikan minat penonton. Dalam kondisi seperti ini, lembaga sensor kerap meloloskan film-film yang dipenuhi oleh adegan-adegan yang dipenuhi oleh hasrat dasar manusia terutama kekerasan dan seks seperti dinyatakan Rosihan Anwar mengenai pandangan back to basic dalam film (kembalinya tema-tema film ke seks dan kekerasan). Ungkapan Rosihan Anwar ini sejalan dengan pernyataan dengan Nyak Abbas Akup bahwa bumbu seks dan sadisme merupakan rumus agar sebuah film laris manis di pasaran. Pasca reformasi yang diikuti lahirnya ormas-ormas islam radikal sebagai dampak dihapusnya dwifungsi ABRI, berdampak pada penyensoran film yang kini dipengaruhi oleh protes-protes yang dilakukan lembaga agama seperti MUI dan ormas beraliran radikal. Mereka biasanya memprotes film-film yang memiliki adegan-adegan seks dan vulgar, penghinaan terhadap agama, penggambaran agama secara keliru, merusak moral masyarakat, hingga tidak sesuai dengan budaya nasional. Mereka pun menuduh bahwa LSF tidak punya wibawa dan keputusan yang dihasilkan tidak berpihak pada kepentingan orang banyak. Protes yang mereka lakukan sangat sering mengganggu ketertiban umum dan membuat rasa takut di kalangan pekerja film karena ancaman kekerasan yang disampaikan. Tarik ulur kepentingan sensor film dan kedudukannya yang dilematis itulah alasan mengapa peranan sensor film sebagai kontrol yang disebut-sebut sebagai alat penjaga “moralitas”, norma, nilai-nilai budaya nasional harus ditinjau ulang. Karena implementasinya, acuan moralitas, norma dan nilai-nilai budaya nasional yang digunakan oleh sensor film sangat bias. Kehadiran MUI dalam kedudukan LSF justru membuktikan bahwa acuan mereka berdasarkan salah satu etnis/agama tertentu. Bukankah kebudayaan nasional seharusnya bersifat sekuler, tidak bisa diambil berdasarkan salah satu etnis dan agama tertentu? Oleh karena itulah, pemerintah harus mempertimbangkan solusi alternatif lain yang digagas oleh para pekerja film, yaitu menggantikan Lembaga Sensor Film dengan solusi yang lebih adaptif, yaitu Lembaga Klasifikasi Film, di mana karya film akan dinilai dan diklasifikasikan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Di satu sisi ini akan menjamin perlindungan terhadap masyarakat namun tidak mematikan industri kreatifitas. Lembaga ini juga akan menjadi lembaga yang memberikan rating film agar sesuai dengan target pemirsanya. Dasar solusi ini karena bagi para pembuat film, penyensoran menyebabkan film yang dalam wujud fisiknya merupakan karya cipta seni dan budaya tidak pernah sampai dan atau diterima oleh penonton, dan dengan demikian maka informasi yang terkandung dalam film tersebut tidak akan pernah sampai dan atau diterima oleh penonton. Akibat dari hilangnya informasi ini membuat film tersebut menjadi tidak sampai secara utuh dan tidak dapat diterima oleh penonton. Jika melihat industri film Amerika dalam mekanisme klasifikasi, ketentuan-ketentuan dan penerapan klasifikasi dilakukan oleh asosiasi produser film Amerika, MPAA, bukan oleh pemerintah. Keseluruhan sistem klasifikasi akhirnya ikut membentuk antisipasi penonton terhadap film yang akan diputar termasuk rating yang diberikan oleh MPAA. Dengan rangkaian ketentuan-ketentuan yang relatif pasti dalam kode produksi tidak tertulis yang diterapkan oleh MPAA dan sistem rating-nya, para pelaku industri juga melakukan berbagai cara untuk menyiasati produk yang mereka hasilkan, berkaitan dengan kemungkinan pemasaran film-film mereka. Penafsiran sepihak oleh ormas terentu yang membentuk opini publik pada umumnya sebenarnya mencerminkan pemahaman tentang konsepsi budaya barat dan budaya timur sebagai suatu pemahaman yang keliru. Hal ini menunjukkan pemahaman masyarakat bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang hanya bisa diurus dan dimengerti secara abstrak. Kita seringkali tidak dirangsang untuk berpikir kritis hal eksternal diluar budaya yang turut mengarahkan bentuk budaya itu sendiri. Untuk itu, Mendikbud dan Menag bekerja sama dengan universitas dan Lembaga Penelitian sudah seharusnya menyusun modul-modul pendidikan berpikir kritis. Sehingga masyarakat, terutama generasi muda dapat mengembangkan kemampuan berpikir secara kritis dalam menerima dan menyikapi bentuk dan muatan hiburan-hiburan seperti film yang beredar. Karena itulah, sensor film sebenarnya bukanlah solusi dari permasalahan tetapi justru akar dari permasalahan yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan kebudayaan itu sendiri. Kebebasan berekspresi bukan hanya menyangkut kebebasan berbicara, tapi juga kebebasan mengemukakan dan menyebarluaskan pendapat dan informasi lewat berbagai medium, baik berbentuk cetak (seperti buku, surat kabar, dan majalah) maupun elektronik (seperti film, televisi, radio, dan internet). Jika solusi-solusi alternatif tersebut dijalankan dengan konsisten, maka pihak sensor film sudah tidak perlu lagi bersusah payah menggunakan guntingnya untuk memotong seluloid hasil jerih payah kreatifitas para pembuat film, bahkan sudah waktunya, sensor film lebih baik ditiadakan saja. Bahan bacaan : Sasono, Eric, et.al. (2011). Menjegal Film Indonesia : Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia. Jakarta : Yayasan TIFA, rumahfilm.org. Kristanto, JB (2004). Nonton Film Nonton Indonesia. Jakarta : Kompas. Muchtar, Adinda Tenriangke, Antonius, Wiwan Koban (2010). Menegakkan Hukum dan Hak Warga Negara : Pers, Buku, Film. Jakarta : Freedom Institute dan Friedrich Naumann Stiftung. Phelps, Guy (1975). Film Censorship. London : Victor Gollancz. Mietzner, Marcus (2006). The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia: Elite Conflict, Nationalism, and Institusional Resistance. Washington : East-West Center.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H