Mahasiswa adalah simbol harapan bangsa, garda intelektual yang semestinya menjadi penggerak perubahan. Dalam sejarah panjang Indonesia, mahasiswa telah memainkan peran penting dalam mendorong transformasi sosial, politik, dan budaya. Namun, di tengah dinamika masyarakat modern, pertanyaan besar muncul: apakah mahasiswa masih dipercaya oleh rakyat? Apakah mereka masih peduli terhadap bangsa, masyarakat, dan lingkungan sekitar? Artikel ini berusaha menggali peran mahasiswa, menyelami tantangan yang dihadapi, dan menawarkan solusi untuk mengembalikan peran strategis mereka sebagai agen perubahan.
Di masa perjuangan kemerdekaan hingga reformasi 1998, mahasiswa adalah suara lantang rakyat. Mereka berada di garis depan memperjuangkan keadilan dan demokrasi. Mahasiswa menjadi katalisator bagi perubahan besar yang mengubah wajah bangsa. Namun, survei Lembaga Survei Indonesia (2023) menunjukkan hanya 48% masyarakat yang masih percaya mahasiswa mampu menjadi motor penggerak perubahan sosial. Angka ini mencerminkan penurunan kepercayaan akibat ketidakhadiran mahasiswa dalam isu-isu strategis masyarakat. Banyak masyarakat kini melihat mahasiswa lebih sibuk dengan urusan pribadi atau hanya menjadi pengamat pasif di tengah tantangan bangsa yang semakin kompleks.
Salah satu alasan utama adalah pergeseran fokus mahasiswa. Teknologi, meskipun membawa kemudahan, sering kali menjadi distraksi. Berdasarkan studi dari We Are Social (2023), rata-rata mahasiswa Indonesia menghabiskan 8 jam per hari di media sosial, melebihi waktu yang dihabiskan untuk membaca atau berdiskusi. Akibatnya, isu-isu penting seperti ketimpangan sosial, korupsi, atau perubahan iklim sering kali tidak menjadi perhatian utama. Ketergantungan terhadap teknologi ini menciptakan jurang antara mahasiswa dan realitas sosial yang sedang berlangsung. "Mahasiswa adalah suara moral bangsa," ujar Anies Baswedan, mengingatkan pentingnya peran mereka sebagai pengawal moralitas.
Tak hanya itu, sistem pendidikan yang teknis dan kaku juga turut berkontribusi. Kurikulum perguruan tinggi lebih menekankan nilai akademik dibandingkan pengembangan karakter dan kepedulian sosial. Mahasiswa didorong untuk mengejar indeks prestasi tinggi tetapi seringkali lupa pada tanggung jawab sosial yang lebih besar. Ini berbanding terbalik dengan semangat yang pernah digaungkan oleh Soe Hok Gie, "Ketika mahasiswa kehilangan idealismenya, maka bangsa kehilangan masa depannya." Ungkapan ini menggambarkan pentingnya mempertahankan idealisme mahasiswa agar tetap relevan bagi masyarakat.
Fenomena lain yang tidak kalah memprihatinkan adalah apatisme mahasiswa. Banyak mahasiswa merasa bahwa perubahan sosial dan politik adalah tanggung jawab pihak lain, bukan mereka. Hal ini juga dipengaruhi oleh minimnya contoh atau role model di kalangan mahasiswa. Aktivis mahasiswa sering kali dianggap terlalu politis atau bahkan tidak konsisten dalam perjuangannya. Akibatnya, mahasiswa kehilangan inspirasi untuk bergerak. Sebuah laporan dari Badan Pusat Statistik (2022) mencatat bahwa partisipasi mahasiswa dalam aksi sosial menurun hingga 30% dibandingkan dekade sebelumnya.
Namun, situasi ini tidak berarti tanpa harapan. Lalu, bagaimana cara mahasiswa dapat kembali eksis dan berperan penting? Pertama, organisasi kemahasiswaan harus direvitalisasi. Organisasi intra maupun ekstra kampus perlu kembali menjadi ruang diskusi intelektual yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Agenda kegiatan organisasi harus mencakup isu-isu lokal dan nasional yang nyata, seperti pemberdayaan masyarakat pedesaan atau advokasi isu lingkungan.
Kedua, mahasiswa harus lebih aktif dalam aksi nyata, seperti program pengabdian masyarakat yang berkelanjutan. Tidak cukup hanya melakukan formalitas, mereka harus menjadi katalisator perubahan di komunitas tempat mereka tinggal. Misalnya, mahasiswa di bidang teknologi dapat membantu masyarakat desa dengan pelatihan digitalisasi, sementara mahasiswa hukum dapat memberikan edukasi tentang hak-hak masyarakat. Dengan aksi nyata seperti ini, kepercayaan masyarakat terhadap mahasiswa akan kembali tumbuh.
Selanjutnya, literasi digital perlu ditingkatkan. Mahasiswa dapat memanfaatkan media sosial sebagai platform edukasi dan advokasi, bukan sekadar hiburan. Kampanye daring yang berbasis data dapat menjadi alat efektif untuk menyuarakan isu-isu penting. Media sosial juga bisa menjadi ruang untuk menyebarkan kesadaran kolektif dan menggalang solidaritas terhadap berbagai permasalahan bangsa.
Selain itu, kolaborasi dengan komunitas lokal, LSM, atau pemerintah juga harus diperkuat untuk menciptakan dampak yang lebih luas. Mahasiswa harus aktif menjadi jembatan antara berbagai pihak untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan. Hal ini tidak hanya meningkatkan kredibilitas mahasiswa di mata masyarakat, tetapi juga memperluas dampak positif yang mereka ciptakan.
Bagi mahasiswa baru atau calon mahasiswa, penting untuk memahami bahwa menjadi mahasiswa bukan sekadar tentang mengejar gelar akademik. Mahasiswa adalah pelopor perubahan. Mereka harus berani berbicara dan bertindak, namun dengan landasan argumen yang kuat. "Kepercayaan itu tidak diberikan, tetapi diperoleh melalui aksi nyata yang konsisten," kata Bung Hatta. Pesan ini relevan bagi mahasiswa yang ingin mengembalikan kepercayaan masyarakat. Sejak hari pertama memasuki dunia kampus, mahasiswa harus membangun kesadaran akan tanggung jawab mereka, baik terhadap diri sendiri maupun masyarakat luas.
Penurunan kepercayaan masyarakat terhadap mahasiswa bukan akhir dari segalanya. Dengan komitmen yang kuat dan langkah yang strategis, mahasiswa dapat kembali menjadi harapan bangsa. Sebagai generasi yang akan memimpin masa depan, mereka harus menyadari potensi besar yang dimiliki. Seperti kata Soekarno, "Beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncangkan dunia." Maka, tugas kita bersama adalah memastikan mahasiswa Indonesia mampu mengguncang dunia dengan kontribusi mereka yang nyata dan bermakna.