Mohon tunggu...
Deden salman
Deden salman Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saya seorang mahasiswa yang suka dengan hal hal yang baru dan leboih aktif di bidang fotografi dan jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dibayar Sukarela, Pelukis Ini Menekuni Profesinya

1 Februari 2023   20:54 Diperbarui: 1 Februari 2023   20:58 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PiDibayar Sukarela,  Pelukis Ini Menekuni Profesinya


Gambar Ki Joko Wasis sedang menggambar wajah seorang anak.
Yogyakarta- "Menghargai karya seni tidak harus dengan harga, melainkan menilainya dengan jiwa" kata Ki Joko Wasis (62) seorang pelukis wajah dengan bayaran sukarela, Yogyakarta, Senin (30/01).
Bekerja menjadi seorang pelukis sering dianggap remeh bagi kebanyakan orang karna dinilai bukan profesi yang menjamin. Namun seorang lelaki tua asal Kadipaten Kidul Kota Yogyakarta memilih untuk menekuni kegiatan ini sebagai mata pencaharian walaupun dibayar dengan sukarela. Beliau adalah  Muhli Rubiyanto (62) kerap disapa Ki Joko Wasis ini telah menekuni profesi sebagai seniman selama 40 tahun. Bermodalkan tikar,  kursi,  meja,  dan perlengkapan melukis, Ki Joko Wasis membuka jasa melukis sketsa wajah setiap hari di Alun-Alun Kidul Yogyakarta mulai dari menjelang maghrib sampai pukul 02.00 pagi.
Dalam sehari kakek tua empat anak dan dua cucu ini bisa mendapat empat sampai depalan pesanan dengan bayara UNn sukarela dengan hasil kisaran 100 ribu sampai 500 ribu rupiah. Hasilnya juga untuk membiayai anaknya yang masih sekolah di bangku SMP. Untuk membuat satu lukisan wajah membutuhkan 10-15 menit karna baginya yang lama bukanlah menggambarnya tapi mengarsir. Tidak hanya menggambar wajah diatas kertas, Ki Joko juga melukis dengan media yang bergantian seperti diatas kain (batik) atau tembok (mural). Hebatnya lagi ia bisa memvisualisasikan bentuk karya tulis puisi dan musik yang ia dengar.

dokpri
dokpri

                           
Ia tidak mematok harga pada karyanya dan membiarkan pelanggan membayar sukarela karna menurutnya penilaian seni dimata orang itu berbeda, orang akan merasakan nilai seni dengan begitu mereka akan sadar menghargai sebuah karya seni. "Sehari dapat empat sampai delapan orderan rentang harganya sukarela tergantung pesanan dan penghasilannya gak tentu. Kita ga bisa menduga hari ini dapet berapa, bisa hari ini dapet limaratus ribu tapi belum tentu besok ada orderan, malah pernah sehari ga ada pemesan sama sekali," ungkapnya sambil menggambar wajah seorang anak, Senin (30/01).

dokpri
dokpri


Tak jarang ketika Ki Joko menggambar sketsa wajah temannya hanya meminta dibayar rokok atau minuman saja. Bukan tanpa alasan Ki Joko Wasis menjadi seniman pelukis wajah melainkan karna kecintaannya pada seni sejak kecil terutama seni menggambar. Karya-karya yang pernah ia buat sering diikutsertakan dalam pameran seni. Tapi menurutnya karya yang diikutsertakan pameran ini  masih belum bisa menjual, karna dunia seni tidak seperti dunia bisnis yang mana terus berputar dan lebih dibutuhkan dalam kehidupan sehari- hari. Masa mudanya juga dihabiskan untuk mencari pengalaman dan relasi berkumpul dengan orang-orang seni. Dan sekarang Ki Joko Wasis termasuk generasi tua yang masih melestarikan seni rupa murni. Dimana generasi muidanya dalam menggambar terbantu oleh teknologi sehingga adanya gambar digital yang tidak mewajibkan pelukisnya bisa menggambar dengan tangan. Kemampuan menggambar bukan dari tangan langsung menurut Ki Joko bukanlah salah teknologi yang berkembang, menggambar itu juga tentang kebiasaan menurutnya setiap orang sebenarnya bisa menggambar dan melukis walaupun tidak memiliki jiwa seni dalam dirinya, tergantung pada kemauan untuk belajar.

Pengalamannya dalam dunia seni membawanya lebih dekat pada Sang Pencipta, ia meyakini bahwa seni sebenarnya merupakan pendekatan spiritual. "Dari seni kita bisa belajar banyak hal," Ki Joko pernah melukis sketsa dalam waktu yang lama yaitu sekitar empat belas jam sehingga membuat jari kelingkingnya bengkok, "Orang yang bergerak dengan jiwa maka raganya akan terabaikan," sambungnya. Ia selalu menemukan cara bagaimana ia menghargai karyanya sendiri.

"Orang tua saya tidak ada yang punya jiwa seni, saya sejak kecil memang suka coret-coret dan kebetulan lingkungan saya memang banyak seniman jadi dari lingkungan itu yang membentuk jiwa seni saya,"  tutur Ki Joko yang pernah duduk dibangku Sekolah Menengah Seni Rupa dan ternyata merupakan guru teater dari Hanung Bramantyo seorang sutradara terkenal yang kala itu masih sekolah saat awal pertama tertarik pada dunia teater.

Penulis : Titah Tifani Tamaya
Alamat : Geneng, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah
Email    : titahtifanit242@gmail.com
No. Wa : 085600066584

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun