Mohon tunggu...
Dedeh Menulis
Dedeh Menulis Mohon Tunggu... -

Narsis salah satu bentuk bersyukur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Harapan Cinta

8 Februari 2015   01:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:37 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh : Dedeh Kurniasih Natapura Hari-hari kulalui penuh rasa takut, rasa khawatir, rasa cemburu dan curiga menghantui dalam perjalanan, selama hidup diperantauan. Setelah dirimu meninggalkan diriku di sini tanpa sanak-saudara dalam hiruk pikuk kota, dalam gegap-gempitanya kota, mmemaksa diriku berdiri disimpangan harus tegar dengan kaki sendiri. Hanya satu tujuan diriku di sini, setelah dirimu pergi meninggalkanku, “Bertahan hidup dan membuat tiang-tiang yang kokoh untuk mendirikan rumah tangga kami”. Diriku sendiri harus mampu menanamkan target yang harus dicapai. Walaupun entah kapan target itu dapat diraih. Namun bertekad untuk mampu mewujudkan yang diriku impikan. Hariku penuh kebisuan tanpa canda, tanpa tawa, pikiranku dan hatiku melayang melayang, terbang ke awan, mengejar angin yang terus bergerak mengikuti dinamika kehidupan dirimu. Seyogyanya diriku tidak mampu berpisah dengan dirimu. Sebenarnya saat itu diriku sedang memupuk , menyemai cinta untuk dirimu. Dalam perjalanan pernikahan kita, yang penuh kesederhanaan, penuh kasih dan sayang membuat diriku terbuai, terlena. Tetapi kehidupan memberikan pilihan lain kepada kita. Yang kemudian kita harus berpisah. Hanya sebuah komitmen yang dirimu ikrarkan padaku, “Diriku tidak akan pergi meninggalkan dirimu, walau jarak dan ruang memisahkan kita, tetap kita akan menjalani kehidupan seperti biasa, dirimu tetap istriku, sayang”. Di Ufuk Timur, langit merona memerah, menjingga, menguning bertabur ke-emasan, mengkilau, indah, mengundang gairah, menjemput sang sura membuka jendela pagi. Sesaat diriku memandangi pemandangan yang menakjubkan, sangat mempesona. Saat sepertilah sering membuat diriku ingin lari mengejar cintaku, yang tersimpan dalam ruang hati dirimu. Diriku sangat merindukan pelukkan, dekapan dirimu yang hangat. Biasanya saat diriku membuka jendela, menghisap udara segar dari halaman, saat itu dirimu memeluk pinggang. Kemudian bersamaan kita menikmati pergantian udara kamar dengan udara segar dari halaman yang menawarkan wangi berbagai bunga, dan dirimu selalu mengecup pelipis, kening,ubun-ubun diriku sambil bilang, “Hhhhhhmmmmm…, sssseeegaaaaarrrrrr”. Sambil terus menciumi ubun-ubun, kening, telinga dan tengkuk, kemudian kita bercanda, bahkan kadang terus bercinta, kata dirimu, “Sarapan, untuk bekal”. Aku hanya tersenyum, kagum pada dirimu ketika terus mendekapku dan mengatakan, “ Terima kasih untuk semua, indah dan selalu menakjubkan. Teruslah jadi istriku sampai maut memisahkan”. Kalimat itu selalu terngiang dalam telingaku, bahkan ketika suara petir memecah bumi sekalipun, kalimat itu tidak pernah terurai. Selalu menggema, menggaung dalam hati dan pikiranku. Diriku merasa yakin sebenarnya hati dan bathin kita tidak bisa terpisah. Walau kini jarak dan ruang memisahkan kita. Sampai hari ini kepercayaan dan kesetiaanku pada dirimu masih teruji, diriku selalu berpikir berusaha positif walau kegalauan, rasa cemburu dan curiga sering kali merongrong hati dan pikiran diriku. Tetapi sebagai istri, diriku selalu menguntai doa untuk keutuhan cinta kita. Dan aku selalu bermunajat pada-Nya agar kita, “diiberi kekuatan menjaga dan memelihara mahligai dan pilar-pilar rumah tangga kita”. Setiap hari diriku di sini berjuang melakukan aktifitas rutinitasku sebagai penjahit wanita dan memberi kursus kepada para ibu serta gadis-gadis yang ingin bisa menjahit baju sendiri. Selain berkomunikasi dengan mereka, ibu-ibu dan para gadis yang datang ke tempat tinggal, diriku tidak pernah pergi ke manapun, apakah itu ke pasar, ke mall atau pergi ke tempat-tempat rekreasi manapun. Rasanya tidak pernah ada keinginanku untuk keluar rumah, ketika dirimu tidak ada. Diriku tidak melihat dunia lain selain dunia kita. Hanya dengan dirimu aku ingin berjalan, melangkahkan kaki mencari tempat untuk berdua saja, berpegang tangan, bersenda gurau, atau apapun. Hanya dengan dirimu. Entah sejak kapan, hatiku sering gundah-gulana, jantung dan hati berdegup kencang, berseblakan saat itu pula diriku selalu mengingat dirimu.”Ya Alloh, Selamatkan keutuhan kami, dalam kondisi apapun”. Sering diriku merasa sedih tanpa sebab, menangis tersedu-sedu tanpa tahu apa yang aku sedihkan, sampai baju, bantal tidurku basah-kuyup. Sampai mata perih,membengkak, kadang menggigil, demam karena kedinginan oleh air mata mengguyur kuyup baju yang dikenakan. Saat seperti ini diriku pasti ingat pada dirimu. Kadang terpikir olehku,”Sedang merindukah diriku?”. Atau “Sedang apakah, mengapa, bagaimana dengan dirimu, disana, baik-baik sajakah?”. Semua tak nyana, ketika diriiku sengaja meluangkan waktu menongok, mengunjungi, dirimu melalui media social, ternyata dengan bangga dirimu memampang gambar-gambar wanita cantik yang kau kenali melalui media social.”Itu keponakan dari kampong, itu saudara sepupu dari kampong, yang dulu pernah diriku ajari mengaji”. Dengan rasa syukur aku berdoa,” YaAlloh, jauhkan fitnah untuk suamiku, yang ada dalam hati diriku”. Tetapi kemudian hal itu terulang lagi, “hanya pertemanan”, penjelasan dirimu kepada diriku. Tapi kemudian setelah itu dirimu tak lagi menghiraukan kehadiranku, taka ada sapa hangat yang setiap pagi dirimu sampaikan dengan kemesraan, tak ada lagi kunjungan mesra yang memberi kekuatan pada diriku, yang setiap waktu diriku nanti. Ya Tuhanku, saat ini diriku merasa jiwaku melayang, terbang ke angjasa biru mencari raga, yang mampu menguatkan diriku. Kebohongan-demi kebohongan menguntai mengelilingi kehidupan kami, terus membayangi ketulusan dan kesetiaan kami. Sadar diriku ada dalam bencana.” Ya Alloh. Tuhanku, tariklah jarak yang memisahkan antara kami, dekatkanlah kami sampai tak ada jarak antara jiwa dan raga kami”. Setiap nafas diriku memohon dan bermunajat pada-Mu. Tak akan pernah letih menjaga dan memelihara cinta yang sudah kita bingkai dengan kesetiaan dan ketulusan, walaupun dengan resiko diriku sering sakit kemudian, karena hati dan pikiranku harus perang menyaksikan kezoliman yang dirimu perbuat. Sejujurnya diriku memahami kondisi yang kita hadapi, tapi martabatku, ke-egoanku, harga diriku tidak mampu memberi kebijaksanaan pada dirimu. Diriku tidak harus menguasai dirimu, karena itu bukan keharusanku tetapi diriku tidak mampu membutakan mata, walaupun mata kasad diriku tidak melihat ternyata mata hatiku tidak buta, diriku melihat semua ke-dzoliman dirimu. Kini diriku yakin, sebernarnya bathin kita terikat simpul, tidak terpisah. Bahkan diriku merasakan semua kebohongan yang dirimu sembunyikan”. Jika ini kita pertanyakan, “ kebohongan apalagi yang akan dirimu sembunyikan, Yakinkah dirimu mampu membohongi nuranimu sendiri, ketika melakukan kedzoliman itu?”. Ketika lutut bergetar menahan amarah, jantung berdebar membujuk kemurkaan, hatiku pilu, menjerit karena hujaman belati beracun yang dirimu tancapkan, pas menukik, menusuk qolbuku. Sakit, sangat sakit. Diriku sadar kesetiaan kita terkontraminasi, penuh polusi kedustaan. Saat seperti ini, pasrahpun diriku tidak mampu. Hanya ludah getir yang tertelan, ketika menghela nafas, melonggarkan dada yang sesak karena menahan air mata yang ingin tumpah. AKU tidak ingin BERCERAI TETAPI AKU ingin MEMBUNUH TETAPI Jujur aku katakan AKU tidak ingin BERCERAI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun