Wujud Cintamu 12 Sudah beberapa hari dirimu tidak pulang, bahkan tidak memberi kabar, diriku tidak berani bertanya sedang di mana?, karena khawatir sedang bersama dirinya, tidak mau merusak suasana di sana. Dalam rumah tangga kalian, diriku hanya menerima dirimu di rumah tangga kita. Seharusnya diriku tahu keberada-an dirimu 24 jam, begitu pula sebaliknya. Tetapi diriku tidak pernah mampu melakukannya, jika bertanya dari mana, akan pergi kemana dirimu?. Diriku tidak akan sanggup mendengar sebuah jawaban ketika dirimu bilang, “akan atau sudah darinya”. Aku tidak sanggup mendengarnya. Biarkan saja hati ini bermain teka-teki. Diriku akan belajar menerima dirimu di rumah kita saja, dan melepas dirimu dengan doa, tanpa sebuah pertanyaan. Bukan berarti diriku tidak peduli, tetapi diriku tidak sanggup mendengar kebohongan. Diriku ingin kejujuran di antara kita menjadi musik ketika darah mengalir dalam tubuh kita, karena kejujuran tiang rumah tangga kita, menjadi lampion, penerang dan hiasan dalam hati kita. Di sudut kamar jembangan bunga, airnya sudah menyusut, mulai kotor, ros merah dan putih kesukaan dirimu sudah mulai layu. Untuk hal inipun diriku tidak mau menggantikan, karena tahu nanti dirimu ganti lagi dengan ros-ros yang dirimu suka. Dan diriku paham, dirimu tidak akan bertanya bunga apa kesukaan diriku. Aku hanya boleh menyimpan bunga kesukaanku di ruangan lain. Bukan di kamar kita. Bahkan diriku tidak bisa memajang tempat tidurku sendiri, karena ada dirimu di sana. Dirimu hanya menggunakan seprai putih setiap harinya, juga bad cavernya. Diriku akui kamar ini terkesan mewah walau sangat sederhana, tempat tidur ukir jati ukuran besar dilengkapi kelambu renda putih, menambah nilai plus. Setiap saudara yang melihatnya dari pintu kamar, bahkan anak-anak dan dirinya, mereka berdecak kagum. Inilah kerajaan yang dilengkapi dengan wanita yang dirimu pajang di atasnya. Yang katanya,” wanita yang sangat dirimu cintai”. Ruang tidur inilah yang menjadi kerajaan kebanggaan dirimu. Sudah beberapa hari ini, tempat tidur sebelah diriku rebah, dingin, kosong. Diriku sangat merindukan desah nafasmu, hangatnya dekapan dan mesranya ciuman dirimu. Aku merindukan semua. Tuhanku, betapa dashyatnya getaran hatiku yang sedang merindu pada dirimu. Sekujur tubuhku bergetar, menggigigl sampai perutku sakit, aku merindu. Bayi kita sibuk menendang-nendang diding kulit perutku, rintihan kerinduan, sakit kurasa menggetirkan air ludah diriku yang tertelan bersamaan air mata yang menghangatkan, terasa pahit, getir. Dirimu datang, pulang, menjemput diriku yang sedang bekerja. Hatiku bergetar sarat dengan kerinduan yang seakan membludak, penuh gairah, menggelora dalam jiwa yang kosong. Dirimu memapah, berjalan perlahan menuju rumah, meninggalkan pekerjaan yang sedang berserakan. Kututup ruang kerjaku. Pulang membawa suka-citaku. Bagai mendengar petir di siang bolong, bibirku bungkam terkunci. Bagaimana bisa dalam kondisiku seperti ini, saat-saat diriku menanti hari persalinan, kelahiran anak kita. Dirimu minta izin untuk pergi berlibur bersama dirinya, untuk beberapa kedepan. Setelah beberapa hari kemarinpun dirimu meninggalkan diriku sendiri, di rumah, sakit sendiri. Bagaimana bisa? Ini terjadi, pada diriku yang akan menghadapi persalinan, wanita yang katanya sangat dirimu cintai, sangat dirimu rindukan?. Harus menghadapi semua sendiri. Astagfirulloh aladzim, badanku melemas, inikah jawaban doa-doaku, Tuhan. Rasanya bumi akan runtuh, menimpaku. Pandangan mataku gelap. Ingin diriku menjerit sekeras-kerasnya, melepas ganjalan yang ada pada dada. Tapi semua tidak mampu diriku lakukan, hanya diam, duduk lemas, di ujung tempat tidur kita. Perut diriku kembali sakit, amat sangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H