At-thariqatu ahammu min Al-madah (metode lebih penting dari materi) ! isi materi yang lengkap, baik, terperinci dan berat, akan tetapi  jika seorang guru mampu menguasai cara menyampaikan dengan baik, maka materi tersebut akan terasa ringan dan mudah dipahami oleh siswa.
Sejauh ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai seperangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama strategi dan metode belajar. Untuk itu, diperlukan sebuah strategi belajar baru yang lebih memberdayakan siswa.
Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Siswa dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide. Lantas strategi apakah yang pantas digunakan? Sehingga proses belajar penuh dengan kebermaknaan.
Dalam hal ini strategi yang tepat dalam pembelajaran adalah  Contextual Teaching and Learning, secara terminologi menurut Elaine B. Johnson yang diterjemahkan oleh Chaedar Alwasilah (2014: 57), menyatakan bahwa Contextual Teaching and Learning adalah suatu sistem pengajaran yang cocok dengan otak, karena menghasilkan makna yang menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa. Dengan memanfaatkan kenyataan bahwa lingkungan merangsang sel-sel saraf otak untuk membentuk jalan, sistem ini memfokuskan diri pada konteks, pada hubungan-hubungan.
Terdapat tujuh komponen yang diperlukan dalam mengimplementasikan strategi  Contextual Teaching and Learning, menurut Ditjen Dikdasmen dalam buku Kokom Komalasari (2010: 11), yaitu Konstruktivisme (Constructivism) merupakan landasan berfikir filosofi pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit).
Menemukan (Inquiry) merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL, menurut Ridwan Abdullah Sani, dalam bukunya yang berjudul Pembelajaran Saintifik Untuk Implementasi Kurikulum 2013 (2014: 88) bahwa melalui Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta- fakta, tetapi hasil menemukan sendiri melalui siklus : observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), dan penyimpulan (conclusion). Artinya siswa mampu membuat kesimpulan dengan mandiri dan terus merangsang keingintahuannya yang berkaitan dengan materi belajar.
Komponen selanjutnya adalah bertanya (Questioning), bertanya dalam pembelajaran dipanadang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan siswa. Bagi siswa bertanya merupakan bagian kegiatan penting dalam menggali informasi yang belum diketahuinya questioning dapat diterapkan: antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas, dan sebagainya.
Masyarakat belajar (Learning Community) menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Artinya jika dalam kelas senantiasa membuat kelomok belajar. Pemodelan (Modeling) maksudnya dalam pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan tetentu, ada model yang bisa ditiru. Guru dapat menjadi model, misalnya member contoh cara mengerjakan sesuatu. Memahami dan membaca cepat scanning. Dalam CTL guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa, alat peraga dan sebagainya, artinya model dapat dirancang dengan melibatkan siswa, misalnya murid ditunjuk untuk memberi contoh pada temannya, atau mendatangkan seseorang di luar sekolah, misalnya mendatangkan veteran kemerdekaan ke dalam kelas.
Refleksi (Reflection) Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Penilaian sebenarnya (Authentic Assessment) adalah porses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa.
Pembelajaran secara Contextual menjadikan proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan memahami. Kegiatan ini merubah paradigma belajar, dari yang biasanya guru acting di panggung dan siswa atau peserta didik hanya menonton, menjadi siswa aktif bekerja dan belajar di panggung, sedangkan guru membimbingnya dari dekat. Atau dengan kata lain, guru bukan hanya sekedar memberikan ilmu pengetahuan, tetapi lebih mementingkan strategi pembelajaran dari pada hasil.
Pembelajaran Contekstual dikembangkan dengan tujuan agar proses pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Melalui pembelajaran kontekstual, siswa melakukan proses belajar dan mengembangkan kemampuannya secara mandiri, penemuan makna merupakan tujuan dan ciri utama pembelajaran kontekstual. Makna sering diartikan sebagai arti penting dari sesuatu atau maksud dari apa yang mereka terima.