PENDAHULUAN
Pendidikan tingkat menengah ke atas, siswa akan di hadapkan pada pilihan yang berkaitan dengan penjurusan. Tujuan dari adanya penjurusan, tidak terlepas dari suatu harapan agar siswa bisa menyalurkan bakat dan minat yang dimilikinya. Dengan demikian tujuan tersebut sesuai dengan UU No.20 tahun 2003, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Akan tetapi penjurusan tersebut masih bersifat kontradiksi dengan UU diatas karena realitasnya hanya menimbulkan suatu masalah bagi siswa. Problem yang sering kali dijumpai terkait penjurusan adalah adanya dikotomiantor jurusan. Bentuk dikotomi yang sering terjadi dalam suatu masyarakat, yaitu bahwa terdapat persepsi jurusan IPA lebih berkualitas dibandingkan dengan jurusan lainnya. Persepsi tersebut ternyata dibenarkan oleh M. Nuh yang pernah menjabat sebagai menteri pendidikan, bahwa penjurusan hanya menimbulkan suatu diskriminasi. Pernyataan tersebut diperjelas dengan anggapan siswa dari jurusan IPA lebih pandai dibandingkan jurusan IPS. Dampak yang dirasakan dari adanya persepsi bahwa siswa IPA lebih unggul dibandingkan dengan jurusan IPS, menimbulkan perang stigma baik yang dilakukan siswa IPA maupun siswa IPS. Setiap siswa mengunggulkan jurusannya dan merendahkan jurusan lainnya.
Pembelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS) maupun pembelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing serta kemampuan yang setara. IPA mempelajari tentang ilmu eksakta yang merupakan ilmu mengenai hal-hal bersifatnya konkret, nyata, dan dapat dibuktikan dengan berbagai percobaan dan juga penelitian dan lebih sering di kenal dengan metode ilmiah. Sedangkan IPS mempelajari tentang hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan lingkungannya, serta berbagai aspek sosial, hal itu dikaji dalam mata pelajaran sosiologi, geografi, ekonomi, dan sejarah.
Namun tetap saja, stigma kebanyakan menganggap bahwa jurusan IPA merupakan kumpulan orang-orang pintar di bidang akademis dan cenderung output pembelajaran yang lebih membanggakan. Sementara, jurusan IPS dianggap sebagai kelas buangan, Dimana mereka dinilai kurang dalam kemampuan pembelajaran, sehingga tidak bisa masuk kelas IPA. Hal ini merupakan masalah klasik dan mendasar, yaitu diskriminasi yang terbungkus dalam sebuah stigma, itu merupakan pola pikir sebagian orang yang merasa bisa hidup dengan eksakta (ilmu yang bersifat nyata dalam penelitian sehingga dapat terbukti dengan pasti). Dari mulai kualitas soal dan tingkat kesulitan yang jomplang antara pembelajaran IPA dan IPS, kualitas kemampuan guru IPA dan IPS yang berbeda, sampai gengsi dari kalangan orang tua murid. Hal-hal seperti inilah yang justru secara simultan memperkuat pandangan ini dari waktu ke waktu. Tanpa sadar hal seperti ini yang membentuk stigma terhadap jurusan IPA dan IPS. Sehingga siswa yang nilai akademiknya baik dituntut untuk masuk jurusan IPA, padahal mungkin sebenarnya kertertarikan minat dia adalah topik-topik yang berbau sosial. Dan yang paling nyata dan jelas adalah, anak IPS cenderung lebih”berandal-berandal” dan nakal dibanding anak IPA.
Tujuan dari artikel popoler ini adalah untuk menghapuskan stigma buruk seseorang terhadap jurusan IPS. Dan dapat diketahui juga cara menghapus stigma buruk tersebut, serta bisa membuktikan bahwasannya tidak hanya jurusan IPA saja yang dianggap baik tapi jurusan IPS juga baik dan tidak seburuk yang di pikirkan.
Sebagai pertimbangan dalam artikel populer, akan dicantumkan juga artikel populer sebelumnya yang telah dilakukan oleh peneliti lain yang relevan dengan artikel populer yang dibuat oleh saya. Adapun artikel populer sebelumnya “Perang Stigma Antara Siswa IPA/IPS di MAN Lasem” oleh Siti Mu'awanah & M. Jacky, artikel populer ini membahas tentang bagaimana stigma yang terbentuk terhadap siswa dari jurusan IPA dan IPS. Jurusan IPA dipandang sebagai kumpulan anak teladan yang terus berperilaku baik. Sedangkan jurusan IPS dipandang sebagai anak-anak yang tidak mampu masuk jurusan IPA karena nilai akademik, juga sekumpulan anak-anak nakal yang selalu membuat masalah. Artikel populer ini juga membahas tentang bagaimana perlakuan orang lain dan 'label' negatif yang diberikan kepada anak-anak dari jurusan IPS. Label yang telah teranam pada jurusan IPS merupakan masalah yang serius dalam pendidikan. Fenomena tersebut menjadi patokan bagi sebagian besar masyarakat, mereka takut ketika ingin memasukkan anak mereka ke jurusan IPS. Akibatnya, para orang tua menuntun anak mereka untuk masuk pada jurusan IPA, dan menyebabkan posisi siswa jurusan IPS menjadi semakin terpojokkan.
Seolah-olah dunia pendidikan hanya bisa mengukur kecerdasan seseorang berdasarkan berhitung dan hafalan yang biasanya terdapat di jurusan IPA. Bahkan, pada nyatanya konsep hitung-hitungan lebih mendekat dengan pelajaran di IPS, yaitu pelajaran akuntansi. Dari adanya stigma tersebut, mari kita bedah bersama-sama bahwasannya stigma itu bisa dihapuskan serta menegakan sebuah pandangan baik dan sudah saat nya streotif menjengkelkan pada jurusan IPS diruntuhkan.
PEMBAHASAN
Siswa IPA dan IPS sering terlibat dalam kegiatan perang stigma, baik dilakukan didepan siswa yang bersangkutan maupun dibelakang siswa yang bersangkutan. Siswa IPA adalah siswa yang dikenal dengan kepandaiannya serta patuh pada aturan. Akan tetapi adanya dikotomi menimbulkan beberapa perang stigma. Stigma yang diletakan pada siswa IPS dapat dikategorikan menjadi empat kategori yaitu intelektual, moral, religi dan life style.
Yang pertama ada stigma intelektual, yaitu stigma yang melekat pada siswa IPS, berupa stigma bodoh. Stigma ini dapat dikatakan berkaitan dengan masalah akademik. Dengan stigma ini, siswa IPS menunjukkan konsep I dalam bentuk tindakan pada saat ujian. Siswa IPS mendapatkan nilai bagus dibandingkan dengan siswa IPA. Perbandingannya lebih pada mata pelajaran dengan bobot kesulitan sama atau soal yang sama. Selanjutnya konsep Me siswa IPS ditunjukkan dengan melakukan tindakan menyontek baik melalui teman yang masih satu ruangan, maupun diluar ruangan ujiannya dengan melalui SMS. Selain itu siswa IPS banyak yang harus ikut remidi. Dalam hal memilih jurusan IPS, lebih pada ketidakmampuan dalam hal mata pelajaran di jurusan IPA dan takut mengalami stres. Konsep Me juga dapat dilihat dari pilihan jurusan yang dipilih siswa IPS di perguruan tinggi, yaitu tidak berani mengambil jurusan yang susah, dengan alasan kemampuan akademiknya lemah. Yang Kedua ada stigma moral, yaitu stigma yang masuk dalam kategori moral terdapat 4 bentuk stigma, yaitu gedonan (suka menggoda), tukang malak (suka meminta-minta uang), tukang ngerasani (membicarakan orang lain), dan PK (pelayan kopi). Dengan beberapa stigma yang dilekatkan pada siswa IPS, maka konsep me yang diperankan yaitu tindakan yang berkaitan dengan stigma gedonan, dengan melakukan kegiatan menggoda baik laki-laki maupun perempuan. Yang ketiga ada stigma religi siswa IPS tidak hanya mendapatkan stigma yang berkaitan dengan intelektual dan moral, tetapi siswa juga mendapatkan stigma yang berkaitan dengan religi/ lebih pada hal yang berbau agama. Siswa IPA memberikan stigma pada siswa IPS, bahwa siswa IPS bento (membaca bacaan sepert Al-qur’an dengan nada yang dibuat-buat) dan keset (malas dalam hal beribadah, seperti sholat dhuha, dhuhur dan istighosah). Yang keempat adalah stigma life style yaitu siswa IPS dalam hal finansial juga menjadi sorotan bagi siswa IPA. Dengan memberikan stigma kepada siswa IPS, bahwa siswa IPS royal/plang-plong. Stigma tersebut terjadi dengan melalui proses sosial antara siswa IPS dengan siswa IPA. Siswa IPS memiliki kebiasaan mengahambur-hamburkan uang baik di dalam lingkup sekolah maupun di luar sekolah.