Mohon tunggu...
Dede Nurcahya
Dede Nurcahya Mohon Tunggu... -

Lulusan FH UGM, calon praktisi hukum dan calonnya calon dokter gigi, tapi ga mencalonkan diri di pemilu :D\r\n\r\nPIN : 3215683D\r\nSKYPE : dede.nurcahya

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Apa Sih Fungsi BPKP??

11 Maret 2011   10:29 Diperbarui: 4 April 2017   17:53 10452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12998391911905259987

[caption id="attachment_95566" align="alignright" width="300" caption=" Bangunan BPKP perwakilan DIY yang hancur pada saat gempa jogja 2006 silam"][/caption]

Mungkin banyak orang bertanya-tanya,apa sih fungsi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) itu? Toh bukankah BPK dan KPK sudah cukup sebagai lembaga pengawasan di tingkat pusat, selain itu masih banyak lembaga pengawasan lainnya yaitu inspektorat, baik jenderal, provinsi maupun kabupaten atau kota apabila pemerintah menginginkan lembaga pengawasan intern. Di dalam peraturan perundang-undanganpun KPK dan BPK lebih tinggi dibandingkan BPKP. KPK dan BPK merupakan lembaga negara independen yang dibentuk berdasarkan amanat dari UU. adapun BPKP merupakan lembaga non departemen yang dibentuk hanya berdasarkan keppres dimana apabila kita melihatnya secara hierarki perundangan-undangan, posisi keduanya lebih tinggi daripada BPKP. Banyak orang menilai perlu dilakukan pembubaran atas BPKP, alasannya dikarenakan hal tersebut perlu dilakukan untuk efisiensi baik tenaga maupun pengeluaran negara karena sudah terlalu banyak lembaga pengawasan internal yang telah ada. Sebetulnya wacana ini telah lahir di mulai sejak awal tahun 2000-an, yakni ketika era reformasi telah menggantikan orde baru, dimana pada saat itu terjadi reformasi besar-besaran di struktur pemerintahan,. Demikian juga halnya di bidang keuangan. Seolah - olah masyarakat telah menjadi antipati terhadap hal-hal yang mengandung produk orde baru, tidak dapat dihindari, BPKP pun dijadikan sasaran. Hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa BPKP merupakan salah satu lembaga yang "super power" ketika masa orde baru. BPKP merupakan reinkarnasi dari hasil transformasi DJPKN (Direktorat Jendral Pengawasan Keuangan Negara). Setelah dikeluarkannya Keppres Nomor 31 Tahun 1983. DJPKN ini berdiri sejak tahun 1966, dan pada saat itu memiliki tugas melakukan pengawasan anggaran dan pengawasan seluruh pelaksanaan anggaran negara, anggaran daerah, dan Badan Usaha Milik Negara / Daerah. BPKP merupakan auditor internal pemerintah. Mulyadi (2002) dalam bukunya yang berjudul auditing menjelaskan bahwa auditor pemerintah adalah auditor profesional yang bekerja di instansi pemerintah dimana tugas pokoknya melakukan audit atas pertanggungjawaban keuangan yang disajikan oleh unit-unit organisasi atau entitas pemerintahan atau pertanggungjawaban keuangan yang ditujukan kepada pemerintah. Sejak dikeluarkannya UU BPK yang baru (UU Nomor 15 Tahun 2006) BPKP berjalan tanpa adanya kejelasan tugas dan fungsi yang dimilikinya, akan tetapi setelah dikeluarkannya PP Nomor 60 Tahun 2008, BPKP kembali mengukuhkan posisinya. Hal ini dapat diperhatikan sebagaimana di atur dalam pasal 1, yaitu BPKP sebagai Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) yang bertanggung jawab kepada Presiden. Adapun tugas dan fungsi dari BPKP juga semakin diperjelas sebagaimana tercantum di dalam pasal 49 yakni melakukan pengawasan atas keuangan negara di bidang tertentu yang meliputi: 1) kegiatan yang bersifat lintas sektoral; 2) kegiatan kebendaharaan umum negara berdasarkan penetapan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara; 3) kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden. Selain itu, di pasal 59 juga dijelaskan bahwa BPKP mempunyai  tugas untuk melakukan pembinaan penyelenggaraan SPIP (Sistem Penyelenggaraan Intern Pemerintah). Mendengar kata pembinaan sebagaimana ketentuan pasal 59 tersebut, membuka suatu titik terang. Dalam SPIP terdapat hal yang selama ini sering diabaikan, yaitu pengendalian yang dipengaruhi oleh manusia (soft control). Sebelumnya tidak disadari bahwa soft control merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam SPIP. Ketika itu pemerintah lebih sering merancang SPIP dengan memperkuat sisi hard control, misalkan pengawasan. Padahal, sekuat apapun sistem yang diciptakan oleh manajemen maupun secanggih apapun alat yang digunakan tidak akan ada artinya apabila peran manusia yang berada di dalamnya lemah (soft controlnya buruk). Memiliki hard control yang kuatpun, akan tetapi soft controlnya lemah tidak akan menciptakan kesuksesan. Meskipun terkesan merangkak, pola pikir mengenai SPIP yang lama telah berubah dimana selain dilakukannya penguatan terhadap hard control, sisi kemanusiaan (soft control) juga tak kalah penting untuk diperhatikan. Hal ini dapat kita lihat dalam perkembangannya pada masa sekarang ini, dimana terjadi pergeseran peran. Auditor internal ditempatkan sebagai "consultant", dengan fokus kerja yang dilakukan yakni melakukan penilaian terhadap penggunaan sumber daya agar menjadi efektif, efisien, dan ekonomis (3E). hingga saat inipun, auditor internal lebih diposisikan sebagai "catalyst", yakni membantu manajemen maupun pemerintah dalam menerapkan nilai-nilai yang terdapat dalam organisasi/pemerintahan. Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, peran demikianlah yang dilakukan juga oleh BPKP. Pada saat ini BPKP lebih diarahkan sebagai consultant dan hampir sebagian besar sebagai catalyst. Peran itulah yang agaknya mungkin dimaksudkan oleh pasal 59 PP Nomor 60 Tahun 2009, dimana tercantum bahwa BPKP memiliki tugas untuk melakukan pembinaan penyelenggaraan SPIP. Hal ini dimaksudkan pula untuk melakukan pembinaan terhadap para APIP, termasuk Inspektorat Jenderal di tingkat Departemen/Lembaga serta Bawasda di tingkat daerah di seluruh Indonesia. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), BPKP memiliki empat peran utama yang dapat mendukung akuntabilitas presiden. Empat peran tersebut adalah Capacity Building, Current Issues, Clearing House, dan Check and Balance. Capacity Building (expertise) merupakan strategi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pada kinerja BPKP yang mencakup pelaksanaan pengawasan intern, pembinaan untuk penguatan sistem pengendalian intern, dan penelitian pengembangan di bidang pengawasan. Capacity Building dapat dilakukan dengan cara mengembangkan sumber daya manusia. Pengembangan sumber daya manusia yang dimaksud adalah bagaimana BPKP meningkatkan tidak hanya kuantitas tetapi juga kualitas, seperti pengadaan training, seminar, adanya reward and recognition, dan lain - lain. Pengembangan sumber daya tidak dapat terjadi maksimal jika tidak didukung dengan perkembangan teknologi dan infrastruktur yang menunjang proses pengembangan tersebut. Peran yang kedua adalah Current Issues, yang dimaksud adalah BPKP harus paham mengenai isu - isu yang terdapat di nasional maupun lokal, terutama isu yang berkaitan dengan kasus - kasus yang besar yang harus segera ditindaklanjuti. Karena isu - isu tersebut akan mempengaruhi kinerja BPKP dalam penyelesaian masalah dan pemberian solusi. Kemudian, yang ketiga adalah Clearing House, menurut BPKP sendiri yang dimaksud dengan Clearing House merupakan kegiatan pengawasan untuk memberikan pertimbangan secara teknis maupun hukum atas suatu masalah atau kasus/perkara dan menghindari kegamangan/keraguan kementerian/lembaga dan juga pemerintah daerah dalam melaksanakan kegiatannya. Misalnya ketika sebuah instansi atau badan memiliki masalah dan telah dilakukan beberapa audit tetapi masih belum dapat disimpulkan hasil dari audit tersebut, karena ada beberapa hal yang belum dapat ditemukan. Maka, penyelesaian kasus tersebut selanjutnya dapat dilakukan Clearing House. Penanganan masalah dan kasus/perkara yang dilakukan diantaranya melalui mekanisme kerjasama yang telah disepakati oleh Kejaksaan RI, Kepolisan Negara RI, dan BPKP. Peran BPKP yang keempat adalah Check and Balance, yang dimaksud adalah pemberian pertimbangan terhadap hasil audit eksternal auditor. Dalam proses audit atau pemeriksaan dan pengawasan, terdapat juga eksternal auditor (BPK), yang telah melakukan audit pada suatu badan, maka peran BPKP adalah memberi opini kedua terhadap temuan yang telah ada. Maka, akan dihasilkan dua pandangan dari sisi yang berbeda (eksternal dan internal) yang dapat membantu dalam penyelesaian masalah. Dalam menjalankan peran, harus terdapat strategi yang tepat agar hasil yang diinginkan tercapai. BPKP memiliki tiga strategi yaitu preemptif, prevetif, dan represif. Yang pertama adalah dengan strategi preemptif sebagai langkah awal. Preemptif adalah strategi untuk meningkatkan kesadaran bahwa tidak hanya kalangan pemerintahan tetapi juga masyarakat untuk memberantas korupsi. Cara-cara yang dilakukan adalah dengan sosialisasi mengenai bahaya korupsi dan dampak yang akan terjadi. Selain itu juga dapat dilakukan dengan cara menekankan mengenai dampak korupsi pada tiap pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan. Sehingga dari awal, masyarakat telah sadar bahwa korupsi merupakan musuh utama dalam memajukan suatu badan atau bahkan negara. Strategi yang kedua adalah prevetif, dari bahasa tersebut diambil dari bahasa inggris yang artinya adalah mencegah. Maka, strategi ini dilakukan untuk melakukan pencegahan dan pendeteksian secara dini terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul di pemerintahan. Pemerintah telah mengembangkan sistem dan prosedur dalam rangka mendukunng pencegahan kasus - kasus korupsi yang akan muncul. Strategi yang ketiga adalah represif, yaitu tidak lagi mencegah tetapi menanggulangi dengan cara pemberantasan kasus korupsi yang ada. Pemberantasan tersebut tidak hanya dilakukan oleh BPKP tetapi juga dibantu oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan aparat penegak hukum yaitu kepolisisan, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi). Dari peran dan strategi yang dimiliki BPKP, maka diharapkan dapat memberikan dampak yang besar bagi pemerintahan Indonesia terutama dengan banyaknya kasus korupsi di Indonesia. Berdasarkan hal yang demikian, saya menganggap peran BPKP masih dibutuhkan dan dipertahankan selama lembaga tersebut secara nyata melaksanakan tugas dan fungsinya sebagaimana yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur. Adapun peran consulant dan catalyst yang diartikan sebagai maksud dari pasal 59 PP Nomor 60 Tahun 2009 sangat perlu untuk dilaksanakan secara sungguh-sungguh dalam upaya pembinaan penyelenggaraan SPIP. Apabila hal ini dilaksanakan, maka prinsip good governance bukan mustahil untuk tercipta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun