"Karena rezeki adalah sebuah kepantasan, maka belajarlah memantaskan diri"
Saya berusaha memaknai kalimat ini, dan mencoba meresapi agar kalimat ini menjadi penguat saya.
Saya gunakan kalimat ini untuk terapi diri, membantu saya merelakan hal-hal yang memang bukan rezeki saya.Â
Ketika nekat berbisnis dengan investasi yang dialokasikan tidak sedikit. Mengikuti dan menjalankan seluruh anjuran mentor bisnis, menjiplak persis bisnis model incumbent di pasar, dengan harapan bisa menyerap pasar sebanyak-banyaknya, namun ternyata tidak bisa bertahan, tidak mampu bersaing secara kualitas dan mentalitas, dan harus melihat dan merelakan semua hancur. Kalimat ini mambantu saya untuk menerima situasi itu, bahwa diri ini belum pantas dan layak diamanahkan menjadi pelaku usaha. Maka saya berusaha menerima semua itu.Â
Belajar memantaskan diri menurut ukuran ilahi selalu menjadi hal yang harus kita lakukan. Terkadang kita merasa bahwa sudah saatnya kita mendapatkan apa yang kita inginkan. Kita dibutakan ambisi dan ukuran kontribusi versi diri kita. Dan ketika semua hal yang diharapkan tidak didapatkan, kita kecewa, marah dan mutung kepada sang pemberi rezeki. Kita bertindak sebagai juru taksir rezeki, merasa bahwa itu adalah rezeki kita.Â
"Ukuran kepantasan bukan hanya tentang konteks keterampilan saja, namun juga emosional. Kita harus teruji secara emosional menerima semua sesuai dengan waktu-Nya, bukan waktu kita. Bahwa waktu-Nya itu bukan saat ini, bukan detik ini"
Bagi saya yang awam, fakir ilmu dan cetek pemahaman akan agama, belajar memantaskan diri ini sangat amat tidak mudah. Terlebih kepantasan secara emosional. Ada rasa lelah karena merasa memberikan segalanya namun tidak juga mendapatkan hasil yang diinginkan saat itu juga. "Waktu ku kapan..?" seolah ingin berontak. Terlebih diusia saat ini, melihat dan menengok orang lain mendapat banyak kesempatan.Â
"Bejana yang besar akan mampu menampung air yang banyak, maka daripada memikirkan airnya, kenapa tidak kita perbesar bejana kita, maka kita tinggal menunggu waktu-nya agar air yang kita tampung bisa lebih banyak".Â
Meskipun terkesan filosofi, rasanya sepakat dengan kalimat di atas. Kita sering sekali memikirkan sumber datangnya rezeki, namun kita tidak menyiapkan diri kita. Sehingga ketika rezeki itu datang kita sudah lebih siap.
Ketika kita memfokuskan diri untuk belajar hal baru, menekuni bidang kita hingga bisa ahli, maka rezeki akan mengikuti.
Rezeki mendekat kepada orang-orang yang siap, ketika kita dilihat oleh Gusti Allah siap, maka rezeki itu pasti.
Salam Jumat Barokah