Mohon tunggu...
Dedy Helsyanto
Dedy Helsyanto Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti

@dedy_helsyanto

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Perbandingan Strategi China dengan AS untuk Menjadi Produsen Energi Terbarukan

12 Mei 2023   18:16 Diperbarui: 12 Mei 2023   18:21 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dari data negara-negara yang tergabung dalam G-20, diketahui negara Tirai Bambu atau China disebut menempati peringkat pertama sebagai negara dengan konsumsi energi yang besar. China mengkonsumsi energi sebesar 145, 46 eksajoule. Sementara, Amerika Serikat berada di bawahnya dengan jumlah konsumsi energi 87, 79 eksajoule.

Berdasarkan data dari Statita, Tiongkok banyak mengkonsumsi energi primer yakni bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara. Menurut EIA bahan bakar fosil, minyak bumi, gas alam dan batu bara dikonsumsi Negeri Paman Sam dengan perkiraan sekitar 80%.

Dampak dari konsumsi energi fosil yang dialami China membuat mereka gandrung dengan energi fosil. Konsokuensi yang dialami China ialah negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia mengalami krisis energi dan mempunyai tantangan untuk melakukan netralisir karbon. Sementara Amerika Serikat, selain mengalami krisis energi juga menjadi negara dengan penghasil CO2 terbesar bersama China.

Kabar baiknya, kedua negara tersebut berusaha untuk mengatasi ketergantungannya dengan energi fosil menjadi negara dengan konsumsi energi baru dan terbarukan (EBT). China diketahui mengkonsumsi EBT sebanyak 7,79 eksajoule berdasar data BP Statistical Review of World Energy 2021. Untuk Amerika Serikat sendiri diketahui jumlah energi terbarukan yang dikonsumsi adalah sebanyak 6,15 eksajoule atau tak jauh berbeda dari China.

Konsumsi energi terbarukan yang dimaksud ai atas ialah tenaga surya, angin dan bahan bakar nabati. Baik China maupun Amerika Serikat tentu mempunyai kelebihan dan tantangannya masing-masing untuk meningkatkan konsumsi EBT ini, bagaimana strategi kedua negara tersebut dapat mengatasinya?

Rama Capriano Arnesto Putra dan Iwad Ridwan Zaelani dalam Strategi Pengembangan Energi Terbarukan China Dalam Rencana Lima Tahun ke-13 Capaian SDG7 memaparkan beberapa strategi yang dapat dilakukan China untuk mengembangkan EBT yaitu, dengan mengaplikasikan Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE) melalui komponen SWOT dari Rencana Lima Tahun ke-13. 

Dalam IFE komponen SWOT yang digunakan adalah komponen Strengths (S) termasuk di dalamnya meliputi dana investasi pada energi terbarukan, jumlah produksi energi, produksi dan paten pada teknologi  energi  terbarukan,  penciptaan lapangan pekerjaan, dan biaya pemakaian dan komponen Weakness (W) yang meliputi rendahnya dana subsidi, ambiguitas model pasar, efektifitas penggunaan, kompleksitas aturan,  dan  mekanismepengoperasian.

Untuk  EFE  komponen  SWOT yang    digunakan    adalah    komponen Opportunities (O)  yang  terdiri dari biaya memproduksi energi terbarukan, meningkatnya kesadaran negara berkembang  akan   energi   terbarukan, kelangkaan sumber daya energi konvensional, meningkatnya tingkat kesadaran lingkungan, serta penggunaan energi terbarukan yang relative lebih bersih dan aman;  dan    komponen  Threats (T)  yang  meliputi  daya  serap dana yang rendah, monopoli pasar, besarnya kontribusi batu baru, ketergantungan   yang   diciptakan   oleh kebijkan, dan fenomena penelantaran energi terbarukan yang terjadi.  

Dari IFE dan EFE ini yang hasilnya menunjukan faktor eksternal menjadi penggerak yang dominan pada Rencana Lima Tahun ke-13. Mengacu pada matriks SWOT, Cina mengaplikasikan empat metode    strategi dalam memenuhi indikator capaian SDG7, yaitu (1) Pengembangan dan pembangunan   energi terbarukan; (2) Promosi penggunaan energi terbarukan; (3) Mekanisme pengaturan energi terbarukan; dan (4) Evaluasi   energi terbarukan.

Sedangkan stretegi Amerika Serikat sendiri untuk mengembangkan EBT dari beberapa literatur juga dilakukan dengan mengembangkan teknologi, riset dan investasi. Namun dalam penelitian Dwiky Arga Prakarsa berjudul Rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok Dalam Menangani Perubahan Iklim Melalui Pengembangan Energi Baru Terbarukan (2021) disebutkan kepemimpinan Amerika Serikat yang peduli terhadap lingkungan terjadi pada era Barrack Obama dan Joe Biden, sedangkan Trump kurang fokus terhadap hal tersebut. Dan ini terlihat dari data terbaru dari National Energy Administration (NEA) China bahwa mereka menyatakan kapasitas energi terbarukan mereka melonjak 86,5% secara tahunan, sebagai contoh hal ini dapat dilihat dari tenaga panel surya yang dimiliki China lebih banyak ketimbang Amerika Serikat. Meski begitu tulisan ini perlu diperdalam untuk membandingkan strategi kedua negara secara mendetil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun