Keberhasilan Indonesia mencetak empat gol, terutama pada tiga gol di babak pertama, sebagian besar dikarenakan lini pertahanan Myanmar masih karut-marut dalam mengantisipasi bola transisi. Mereka juga masih belum sepenuhnya waspada dengan pergerakan Irfan Jaya dan Witan Sulaeman.
Mereka cenderung mewaspadai Ezra Walian yang malah sering bergerak melebar dan membukakan ruang bagi Ricky Kambuaya, Irfan, dan Witan. Tiga nama ini yang kemudian mencetak gol untuk 'pasukan Garuda'.
Sebenarnya, itu bisa saja merupakan taktik Shin Tae-yong. Karena, Ezra di klub (Persib) juga sering bermain free-row. Bisa di sisi sayap, bisa juga di belakang penyerang utama.
Kalau tidak ada Marc Klok, tugas pembangun serangan bisa juga diemban Ezra. Inilah yang bisa dimanfaatkan Shin Tae-yong dan luput dari taktik Myanmar saat bertahan.
Di babak kedua, Ezra mulai berperan sebagai target-man. Di sinilah, Ezra mulai kembali kesulitan mencetak gol, selain gol dari eksekusi penalti.
Permasalahan Ezra kemudian menular ke Kushedya Yudo, yang masuk menggantikan Ezra. Minimal, Yudo punya dua peluang. Namun, dia masih kesulitan mengarahkan bola untuk tepat sasaran.
Itu bisa terjadi karena pemain kita masih cenderung gugup kalau mendapatkan tekanan dari lawan. Nyali predatornya masih kurang terasah, karena yang sering berada dalam situasi demikian adalah pemain asing di level klub.
Biasanya, yang malah mengambil peran sebagai pencetak gol adalah pemain-pemain yang sebenarnya berada di lini kedua, seperti Evan Dimas dan Ricky Kambuaya. Ini dikarenakan perkembangan sepak bola.
Sepak bola dewasa ini sudah menempatkan beban mencetak gol tidak hanya di lini depan, tetapi juga di lini tengah. Hanya saja, beban itu adalah bonus dan tujuannya sebagai pengejut bagi pertahanan lawan.
Artinya, yang memikul beban itu masih penyerang, bukan gelandang. Mereka adalah alternatif.
Apakah kemudian itu menjadikan para pemain Indonesia berlomba menjadi gelandang?